Jakarta overtakes Tokyo as World's Most Populated City: Between challenges and enduring appeal

UN Declared Jakarta The Most Populous City In The World 2025

Thousands of motorists are stuck in traffic during rush hour in Jakarta, Indonesia, on November 27, 2025. The United Nations (UN), through its report ''World Urbanization Prospects 2025: Summary of Results,'' determines Jakarta as the most populous city in the world in 2025, with a total population of 41.9 million people, shifting Tokyo to third place with 33 million people, and Dhaka to second place with a population of 36.6 million people. Source: NurPhoto / NurPhoto/NurPhoto via Getty Images

The UN has officially declared Jakarta the world's most populous city with 42 million people, surpassing Tokyo. A demographer discusses the implications and whether the Indonesian diaspora should think twice about returning home.


The UN's announcement naming Jakarta the world's most populous city, with 42 million residents, came as no surprise to Radit, an Indonesian student in Melbourne.

"I'm not shocked, because honestly, as a Jakartan, I've experienced firsthand just how crowded it is," said Radit, who used to navigate daily commutes using multiple modes of transport––car, MRT, ride-hailing motorbikes––from home to his Jakarta workplace.

The DKI Jakarta Provincial Government maintains that Jakarta's official population sits at just 11 million, with the 42 million figure including daily commuters from the Greater Jakarta area, known as Jabodetabek.
Credit_ Supplied_Salut Muhidin.jpg
Dr. Salut Muhidin, a demographer and lecturer at Macquarie University in Sydney. Credit: Supplied/Salut Muhidin
Dr. Salut Muhidin, a demographer and lecturer at Macquarie University in Sydney, explains that the UN applies the Degree of Urbanization (DEGURBA) methodology, a global standard classifying areas into cities, towns and suburbs, and rural zones based on population size, density and geographical contiguity.

Several questions emerge from this designation: What are the real impacts of this density? How can authorities tackle these challenges? With 40% of Jakarta sitting below sea level and continuing to sink, can they manage the situation? Will relocating the capital to Nusantara ease the pressure?

Yet Jakarta's density hasn't dimmed its appeal for those wanting to call it home. Despite enjoying Melbourne's higher living standards, Radit still plans to return. "There's a warmth you just can't find anywhere else," he said.
Listen to the full podcast.

Listen to SBS Indonesian on Mondays, Wednesdays, Fridays and Sundays at 3pm.
Follow us on Facebook and Instagram, and don't miss our podcasts.

Enggak kaget sih, Jakarta dengan empat puluh dua juta orang di dalamnya. Karena

jujur sebagai orang Jakarta yang mengalami sendiri betapa padatnya [tertawa kecil]

jadi enggak kaget sih. Malah kayak selama di Jakarta kerja mobile bolak balik tuh

kadang mikir juga, masa sih Jakarta bukan yang terpadat? Karena sebagai orang yang

memang mobilitas utamanya sebelum pindah ke sini itu di Jakarta dari Selatan ke

Pusat, memang merasakan sendiri sih betapa padatnya lalu lintas yang dihadapin

setiap harinya. Karena kebetulan kalau aku tuh benarbenar beberapa mode transport ya

setiap hari. Mulai dari bawa mobil ke stasiun MRT terdekat. Jadi ngerasain tuh

betapa padatnya lalu lintas roda empat, ditambah lagi roda dua yang sangat banyak

juga setiap pagi, biasanya jam tujuan. Kemudian di MRT, di rush hour itu jam

delapan sampai jam sembilan, ngalamin lagi betapa penuhnya, tapi nyaman sih kalau di

MRT. Kemudian dari MRT turun di Stasiun Setiabudi biasanya lanjut naik ojek lagi

ke Kuningan. Kalau aku sih akan tetap balik karena ternyata setelah dijalanin

aku lumayan kangen rumah sih [tertawa]. Enggak bisa dijelasin ya walaupun betapa

fun, seru, standar hidup yang mungkin berbeda, bahkan levelnya lebih tinggi di

sini. Secara-- ya saya pun bahagia gitu ya hidup di sini. Cuman ada rasa mungkin

rasa hangat yang tidak bisa ditemui sih. Jadi eventually bakal tetap balik ke

Indonesia karena orangorang ya. Once pulang kita ambillah contohcontoh baik

yang bisa diambil dari tinggal di Australia.

Itu tadi Radit, mahasiswa Indonesia di Melbourne yang berasal dari Jakarta

menceritakan kesehariannya sewaktu masih tinggal di Jakarta. Dan memang menurut

laporan PBB, Jakarta sekarang kota dengan penduduk terbanyak di dunia, empat puluh

dua juta orang. Namun, mengutip Radit, kepadatan Jakarta tidak membuat ia

mengurungkan niat untuk tinggal kembali di sana. Kemudian timbul pertanyaan, apa

sebenarnya dampak dari kepadatan ini? Apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi

tantangan ini? Dan dengan empat puluh persen Jakarta berada di bawah permukaan

laut yang terus tenggelam, apakah situasi ini masih bisa dikelola? Untuk membahas

ini lebih dalam, saya berbincang dengan Dr. Salut Muhyiddin, seorang ahli

demografi. Berikut percakapan kami.

Pak Salut, PBB baru saja menetapkan Jakarta sekarang kota terpadat di dunia,

empat puluh dua juta penduduk menggeser Tokyo ya. Sebagai ahli demografi, apa

-artinya ini buat Jakarta, Pak? -Ya, memang saya mengikuti perkembangan

kependudukan termasuk Indonesia ya sebagai demographer. Memang menarik itu laporan

dari World Urbanisation Prospect yang terakhir dua dua lima kemarin dari UN.

Sebenarnya ada banyak [tertawa] message yang ada di situ, tapi memang karena ini

berhubungan dengan Indonesia, Jakarta dijadikan list sebagai the most populous

city. Banyak sekali dampaknya. Artinya begini, bahwa ini sebagai istilahnya

pemberitahuan bahwa, hei, Jakarta semakin tinggi loh ininya, tingkat urbanisasinya.

Yang saya baca di berita di dalam negeri juga bilang, "Oh enggak, kita masih tetap

sebelas juta", gitu. Itu hanya semuanya, betul adanya. Jadi kalau menunjukkan bahwa

kota itu sendiri, kalau mau baca lengkapnya di UN report itu, memang dia

menunjukkan bahwa ada perbaikan dalam hal metodologi dan sebagainya. Karena sebagai

demografi, kita untuk mengukur jumlah penduduk di suatu tempat itu ada banyak

cara. Yang pertama secara alamiah, pertambahan penduduk mulai dari

perpindahan kayak urbanisasi dan kelahiran, dan juga pengurangan dari

kematian maupun perpindahan keluar. Tapi pada saat yang sama juga ada yang tidak

alami, kita bilang ya. Alamiah dan yang tidak alami itu adalah misalnya,

pemekaran. Ya kan? Artinya tadinya wilayahnya cuma satu kelurahan, sekarang

kelurahan sebelahnya jadi kota nih, gitu. Kemudian juga masalah definisi yang

tadinya misalnya awalnya cuma sepuluh ribu penduduk itu sebagai kota, sekarang jadi

dua puluh ribu. Nah, gitu, jadi ada pertambahan. Nah, banyak argue bahwa

Jakarta sebagai kota terpadat saat ini sebagai dibilangnya sekitar empat puluh

dua juta, itu memang diakui di UN Report itu, dia tidak hanya melihat sebagai

administratif. Karena dia ingin membandingkan secara standar ya, dengan

kota lain, ya. Itu dari segi kepadatan, kemudian juga dari sisi berhubungan antara

satu dan lainnya. Nah, itu mendapatkan kesimpulan bahwa empat puluh dua juta

untuk Jakarta. Terlepas dari perbedaan itu, ini adalah saya pikir kita diberikan,

istilahnya apa ya, tanda-tanda bahwa, hey, banyak loh konsekuensinya dari kalau

semakin besar. Pertama, bahwa apakah kita sudah memikirkan antara fasilitas pagi dan

malam gitu ya. Seperti di kota-kota Australi atau di kota tertentu misalnya

Snowy Mountain, itu dia juga punya estimasi penduduk yang biasa dan penduduk

ketika musim turis. Itu berdampak kepada fasilitas.

Itu memberikan PR tersendiri kepada pemerintah lokal ataupun pemerintah pusat.

Menyatakan bahwa tolong perhatikan yang berhubungan dengan kebutuhan pemukiman

ini. Ya, mungkin kalau pagi yang disediakan transportasi dan sebagainya,

tapi kalau ketika malam, apa gitu ya? Jadi, itu yang pertama sebagai pengingat

bahwa apakah fasilitas yang ada sudah sesuai dengan pertumbuhan ini. Yang kedua

juga adalah ini harus diingatkan bahwa apakah planning tata kotanya sudah sesuai

dengan perkembangan penduduk? Terus terang saja bahwa jumlah orang yang tinggal di

kota, di mana pun memang bertambah ya. Secara dunia saja itu kalau kita bicara

awalawal kemerdekaan tahun empat lima lima puluh, masih dua puluh persenan di

seluruh dunia.Tapi sekarang sudah hampir empat puluh lima, empat puluh enam, empat

puluh tujuh persen penduduk dunia tinggal di perkotaan dan jumlahnya lebih besar.

Kalau dulu misalnya bicara tentang dua miliar, sekarang kita bicara lapan miliar

lebih, gitu ya. Di Jakarta atau di Indonesia juga demikian, berapa persen,

tiga puluhan sekarang sudah lebih dari lima puluh dua persen penduduk yang di

kota. Kalau buat saya, ini apa nih persoalannya? Apakah pertambahannya karena

perpindahan penduduk? Apakah sudah diatur sedemikian rupa bahwa perpindahan

penduduk ini-- memang kita tidak bilang tidak bisa membatasi ya, kalau misalnya

country kan harus ada border dan sebagainya, tapi dalam kota ya terus

terang aja, ekonomi sendiri bilang ada gula ada semut. Selama kota itu

menjanjikan banyak gulanya, banyak orang yang akan datang, itu tidak menutup

kemungkinan gitu ya. Dan kita tahu bahwa kota Jakarta memang penuh potensi-potensi

itu

dan menjadi atraksi untuk orang akan hadir. Kenyataannya adalah apakah ada

planning termasuk tata kota, penyediaan infrastructure, yang sudah mengakomodir.

Karena at the end of the day, pada akhirnya semakin tinggi pasti juga semakin

banyak tantangan ya. Makanya isu macet akan selalu ada kalau misalnya bertambah

kemudian juga soal pemukiman gitu ya. Apakah mungkin layak atau tidak? Jadi

kalau saya lihat ini adalah benar adanya bahwa ini adalah gabungan dari semua

sehingga harus ada kerjasama antara, kalau secara administratif Kota Jakarta dan

-kota lingkungan sekitarnya. -Dan ini jadi berarti metode yang dipakai

adalah metode yang dipakai sama dengan kota-kota lain seperti Dhaka, Tokyo dan

sebagainya ya. Bukan hanya terpaut untuk Jakarta saja.

-Betul. -Dan berarti kan tadi Bapak juga bilang kan

ini menjadi pertanyaan begitu ya untuk hidup layak dan sebagainya. Ini tapi

bagaimana nih Pak dengan empat puluh dua juta jiwa ini apakah orang-orang Jakarta

masih bisa hidup layak? Maksud saya dari segi akses terhadap perumahan yang

terjangkau, air bersih, transportasi, ruang publik juga gitu, se-sebagainya

-begitu Pak. -Kalau kita melihat laporan itu sendiri,

memang yang beda dari sebelumnya adalah metodologinya itu menggunakan dia bilang

sebagai Degubra. Itu artinya kalau saya baca reportnya itu singkatan dari Degree

of Urbanisation ya. Jadi itu sudah diendorse dari

UN sendiri sejak tahun 2020 dengan mengkategorisasikan bahwa kalau kota itu

misalnya harus lebih dari lima puluh ribu gitu, kemudian kalau yang agak lebih

sedikit berapa puluh ribu, kemudian seterusnya seterusnya. Jadi benar adanya

bahwa dibandingkannya itu secara umum. Nah kemudian tadi pertanyaannya apakah

menjadi layak? Itu menjadi pertanyaan berikutnya. Di Asia kebanyakan ini masih

pertumbuhan ya. Artinya sementara kenapa Tokyo dibilangnya disalip karena beberapa

kota itu secara demografis pertumbuhannya sudah menurun dibandingkan dengan

kota-kota di Asia lainnya yang seperti Jakarta, kemudian Dhaka di Bangladesh,

kemudian juga Karachi di Pakistan dan sebagainya. Mereka masih tumbuh terutama

tadi dari urbanisasi. Sementara di Tokyo adalah penuaan. Bahkan menurut estimasi

dari PBB sendiri, itu Tokyo bisa menurun dari tiga puluh tiga juta menjadi tiga

puluh satu juta nanti tahun 2050 karena ada aging population tadi, penuaan. Nah,

empat puluh dua juta apakah layak huni atau tidak itu tergantung dari kalau

dilihat melihat komposisinya ya. Jadi ada kantong-kantong yang memang sudah dibenahi

menjadi layak hidup tapi ada juga masih beberapa kantong yang belum siap. Kita

masih lihat di pinggirpinggir jalanjalan tol masih ada orang yang tinggal sementara

gitu ya. Apakah itu sudah mulai dibenahi? Kita belum tahu. Kemudian yang masih di

pinggirpinggir bantaran kali waktu zamannya gubernur-gubernur sebelumnya dan

juga sekarang, itu selalu menjadi perhatian kan. Kita jadi harus

mendefinisikan apakah ini layak atau tidak. Ternyata di Tokyo bisa kok dibenahi

gitu ya dengan catatan bahwa memang pendataannya sesuai gitu ya. Jadi tidak

saja ada rancangan yang harus dilakukan, tapi juga pada saat yang sama kita

mengencourage dan memaksa bahkan kalau dalam tanda petik artinya resident atau

penduduk mengikuti peraturan yang ada. Jadi kalau memang tidak boleh dihuni

jangan dihuni gitu ya. Tapi bukan hanya dilarang tapi ada diberikan alternatif

solusi, entah misalnya kalau istilahnya zaman dulu ada bilang ya disediakan rumah

susun yang layak dan sebagainya. Itu perlu diperjuangkan lebih banyak lagi kalau

bicara soal hunian. Tapi pada saat yang sama bukan hanya hunian ya. Kita tahu

sendiri bahwa tempat-tempat untuk berekreasi meskipun hanya sekedar taman

kecil atau untuk lari-lari kecil. Sekarang orang konsentrasinya misalnya Car Free

Day ke Senayan ataupun ke Monas dan sebagainya. Tapi apakah di

lingkungan-lingkungan kecil ada gitu ya? Nah, itu juga perlu dipikirkan untuk

dibilang sebagai kota layak huni. Nah, itu yang masih banyak PR yang belum terjawab.

Dan berarti kan ini jelas kelompok mana

yang sepertinya paling terdampak. Dan ini juga nih kan kita tahu empat puluh persen

wilayah Jakarta itu berada di bawah permukaan laut dan terus tenggelam ya.

Dengan tekanan populasi yang sangat tinggi ini, bagaimana krisis lingkungan ini

-memperburuk situasi ya Pak? -Ya, betul. Itu adalah salah satu isu lain

ya, yang termasuk saya bilang tadi, di laporan itu juga menekankan bukan hanya

soal Jakarta menjadi metropolitan terpadat sekarang, tapi juga isu lain. Dia

sudah menulis bahwa ketika sebuah kota atau pun sebuah area menjadi semakin

padat, maka tantangan yang paling besar adalah tantangan terhadap

lingkungannya.Kita tahu bahwa empat puluh persen sudah di bawah permukaan air laut

ya. Dampaknya adalah harusnya ada semacam regulasi ataupun pemanfaatan

lahan-lahan lain, jangan sampai ke sana. Nah, ini yang belum banyak terdengar dan

juga masih harus dalam tahap penjajakan bagaimana cara melakukannya itu. Saya

sendiri bukan ahli perumahan ya, tapi kalau saya pikir semakin banyak perumahan

yang dibangun

menuju ke arah utara itu sebenarnya juga memberikan beban berat gitu ya. Mungkin

mulai dikurangi ataupun dialihkan ke wilayah yang rentan terhadap penurunan

-lahan tersebut. -Dan ini kan pemerintah sedang memindahkan

ibu kota ke Nusantara. Menurut bapak apakah ini akan membantu mengurangi

-populasi Jakarta atau bagaimana nih? -Jawabannya bisa ada ya dan tidak. Soalnya

ini udah perbincangan lama ya, soal ibu kota negara. Pertama, memang kalau dari

kita lihat namanya ibu kota nusantara adalah pada awalnya untuk memindahkan

fungsi ibu kota yang ada di Jakarta menuju IKN Nusantara. Yang masih menjadi

perdebatan adalah apakah ketika semuanya itu sudah dialihkan di IKN, serta merta

semua penduduknya ikut.

Kalau dari study yang sudah ada maupun laporan yang sudah dilakukan dan

sebagainya. Contoh saja misalnya Canberra. Ini Canberra adalah persis

sejarah-sejarahnya seperti IKN ya. Di mana dulu antara Sydney dan Melbourne ingin

dijadikan sebagai ibu kota, akhirnya dipindah ditarik garis tengahnya adalah

Canberra, sebuah kota yang didevelop atau dibangun khusus untuk mengakomodir sebagai

ibu kota. Perkembangannya adalah ya, ibu kota namanya dan administratifnya betul

pindah, tapi penduduknya itu tidak serta merta langsung semuanya pindah ke sana.

Persoalan utamanya adalah kan sekarang ini adalah jumlah penduduk dan dari jumlah

penduduk terjadi permintaan kemudian juga kebutuhan dan sebagainya. Nah, sementara

ini IKN kan juga sedang dibangun tapi perlahan perlahan dan bahkan awalnya mau

tahun dua ribu dua lima katanya semua pegawai negerinya pindah tapi akhirnya

ditunda sampai lima tahun ke depan eventually ya perlahan lahan. Dari

kacamata sejarah ini saja dari negara manapun termasuk di Australia itu tidak

langsung tapi mungkin butuh waktu sepuluh, dua puluh, bahkan tiga puluh tahun datang

dan itupun tidak semua akan ikut. Tapi paling tidak yang berkepentingan dengan

administrasi keibukotaan ataupun berhubungan dengan i-- perizinan itu, iya

mereka mau tidak mau harus tinggal di sana dan sebagainya, tapi tidak langsung bisa

menjawab soal kependudukan yang ada di Kota Jakarta itu sendiri.

Tadi kan Bapak bilang di Tokyo sudah peak sementara di kota seperti Jakarta ini

masih terus bertumbuh ya. Mungkin ada diaspora Indonesia yang mempertimbangkan

untuk pulang atau orang Australia yang tertarik kerja di Jakarta. Kalau dari

kacamata demografi murni nih, apakah sebaiknya mereka berpikir ulang atau

sebenarnya ini adalah sesuatu yang ada solusinya gitu?

Kalau masalah pindah itu saya kebetulan ahli di mobility ya, tentang migrasi. Saya

sempat melakukan komparatif study di Asia dan juga beberapa kota di Afrika. Jadi

sebenarnya untuk berpindah itu motivasi utamanya bukan hanya sekedar apakah itu

lebih padat atau tidak padat. Jadi lebih kepada banyak motivasi termasuk yang besar

sekali itu hampir tiga puluh empat puluh persennya adalah motivasi ekonominya.

Artinya ujung ujungnya apakah ketika saya pindah ke suatu tempat, mau itu ke desa

ataupun ke kota, apakah saya bisa tumbuh dan berkembang, gitu loh. Bukan hanya

melulu karena, ah di Tokyo ini udah padat, udah stuck itu kemudian Jakarta. Itu bisa

jadi ya, jadi banyak teman-teman student yang dulunya dia belajar di Australia

ataupun di kota lain, dia merasa kayaknya peluang bisnis saya lebih enak kalau saya

di Jakarta karena dari marketnya akan tumbuh dan sebagainya. Tapi ada juga pada

saat sama ada orang lain yang mungkin sudah para senior atau ini merasa, aduh

kalau di sana saya mulai dari nol lagi ya. Jadi bisa jadi itu menjadi satu

pertimbangan tapi tidak melulu pertimbangan itu untuk berpindah ke Kota

-Jakarta. -Demikian tadi pendengar, rangkuman terkait

Jakarta dengan penduduk terbanyak di dunia yang dibawakan oleh Anne Parisiane

untuk SBS Indonesian.

END OF TRANSCRIPT

Share
Follow SBS Indonesian

Download our apps
SBS Audio
SBS On Demand

Listen to our podcasts
Independent news and stories connecting you to life in Australia and Indonesian-speaking Australians.
Ease into the English language and Australian culture. We make learning English convenient, fun and practical.
Get the latest with our exclusive in-language podcasts on your favourite podcast apps.

Watch on SBS
SBS Indonesian News

SBS Indonesian News

Watch it onDemand