Dibesarkan di sebuah desa kecil di sebelah Utara Sumatra, tidak jauh dari propinsi Aceh yang sangat konservatif, Jayanto Tan menyembunyikan identitas diri selama masa mudanya.
"Menjadi seorang homoseksual di Indonesia tidak dapat diterima, dan merasa tidak aman dan selalu merasa ketakutan," ungkapnya pada SBS News.
Dalam upayanya untuk diterima, Mr Tan pindah ke beberapa kota yang lebih besar namun mendapati bahwa homofobia tersebar rata di wilayah itu.
Sehingga saat berusia 26 tahun, ia bermigrasi ke Australia.
Jayanto Tan says he can comfortably and openly express his sexuality through his art.
SBS
"Saya memutuskan untuk tidak lagi dapat hidup dalam kerahasiaan. Komunitas saya di Indonesia tidak dapat terbuka tentang seksualitasnya. Saat saya di Jakarta, Bali, Yogyakarta, saat pergi keluar, kami tidak pernah mengatakan bahwa kami gay, namun kami mendengar respon negatif seperti orang berkata 'oh hati-hati dengan homoseksual karena mereka menyebarkan penyakit'," jelasnya.
Mr Tan yang kini berusia 49 tahun, menjadi warga negara Australia di tahun 2001.
Saat ini ia sedang menempuh studi seni rupa di Sydney dimana, seperti yang disampaikannya, ia dapat menunjukkan seksualitasnya dengan terbuka dan nyaman di depan umum, serta melalui karya seninya.
"Saat ini, seni merupakan wadah dimana Anda merasa dapat seratus persen menjadi diri sendiri," ujarnya.
Mr Tan berharap bahwa dalam beberapa tahun yang telah berlalu setelah ia bermigrasi, sikap warga Indonesia terhadap hak-hak kaum gay telah berubah.
Namun kunjungannya pulang di bulan lalu, menunjukkan bahwa tidak banyak yang berubah sejak ia meninggalkan negara itu.
"Bahkan bulan lalu saya mengunjungi Bali, mereka membicarakan homoseksual sebagai suatu penyakit dan saya berpikir bagaimana dapat mengubah cara berpikir mereka bahwa homoseksual bukanlah suatu penyakit."
Diskriminasi anti-gay sedang meningkat
Seiring dengan langkah DPR merevisi kitab perundangan hukum pidana jaman kolonial Belanda, beberapa laporan menyebutkan bahwa diskriminasi anti-gay meningkat.
Awalnya, diantara serangkaian perubahan lainnya, adalah rencana untuk memidanakan hubungan sesama jenis yang ditunjukkan di depan umum.
Namun dalam rancang konsep yang terbaru, hanya tindakan homoseksual yang termasuk pornografi yang akan dilarang.
Meski diperlonggar, masih ada kekhawatiran tentang bagaimana RUU tersebut ditafsirkan.
Dr Helen Pausacker, Wakil Direktur dari Centre for Indonesian Law, Islam and Society di University of Melbourne, mengatakan bahwa apa yang sebenarnya termasuk tindakan pornografi masih dipertanyakan.
"Apa yang termasuk tindak pornografi? Apakah mencium di depan umum termasuk pornografi? Hal ini yang masih akan dilihat," ujarnya pada SBS News.
Ia menambahkan bahwa perdebatan seputar hubungan sesama jenis telah menyebabkan tindakan main hakim sendiri terhadap komunitas LGBTQI+.
"Apa yang telah kita saksikan meskipun RUU ini baru sekedar dibahas, namun telah banyak aktivitas ekstra-legal di Indonesia, sehingga pemikiran bahwa hal ini mungkin akan menjadi masalah pidana telah menyebabkan, contohnya, rumah-rumah digrebek."
"Saya pikir kedua hal ini menjadi hal yang dikhawatirkan. Homoseksualitas akan menjadi hal yang ilegal, tetapi saya pikir hal yang lebih mengkhawatirkan adalah kelompok-kelompok yang main hakim sendiri serta kenyataan bahwa polisi melakukan penahanan," jelas Dr Pausacker.
Tahun lalu, lebih dari 140 pria ditahan di ibukota Jakarta karena kasus pornografi, saat dilakukan penggerebekan di sebuah klub gay.
Menurut Dede Oetomo, seorang aktivis hak-hak kaum gay yang berbasis di Indonesia, insiden semacam ini memunculkan ketidaktenangan di kalangan komunitas LGBTIQ+.
"Mereka khawatir, marah, dan takut," ujarnya pada SBS.
Kewaspadaan semakin bertambah seiring berlanjutnya perdebatan mengenai isu ini.
Pada minggu ini disampaikan bahwa perubahan KUHP mungkin belum difinalisasikan hingga akhir tahun depan.
Mr Oetomo mengatakan bahwa jika hubungan sesama jenis dipidanakan, maka hal tersebut akan semakin membuat polisi dan pihak-pihak yang main hakim sendiri untuk mengusik dan mendiskriminasikan kelompok LGBTQI+.
"Untuk dicatat, bahkan sebelum revisi KUHP ini dilakukan, telah ada beberapa penggerebekan terhadap pesta seks pribadi di klub-klub gay serta pencambukan dua pria di Aceh. Kami tahu beberapa hal terjadi dalam lingkungan yang lebih konservatif sejak 2016. Hal ini kembali merupakan pukulan bagi hak-hak kami," ujarnya.
At an Asian Food Festival at the University of Sydney, Indonesian students serve up traditional fare from their homeland.
SBS
Kaum muda Indonesia 'lebih berpikiran terbuka'
Dalam Asian Food Festival yang berlangsung di University of Sydney, para mahasiswa Indonesia ikut mendirikan stan, menyajikan sajian tradisional tanah air mereka.
Kini, mereka merayakan kebudayaannya, bersikeras bahwa ada banyak hal yang dapat dibanggakan.
Namun ada kekhawatiran mendasar mengenai kemana arah Indonesia terkait dengan hak-hak LGBTIQ+.
"Saya pikir hal itu bukanlah satu hal yang patut kami banggakan. Saya rasa ini merupakan satu kemunduran," kata mahasiswa Indonesia, Nicholas Sasmita, pada SBS.
Ia mengatakan bahwa kaum muda Indonesia berpikiran lebih terbuka terhadap isu ini.
"Sebagian besar teman-teman saya tidak bermasalah dengan hal ini, mereka menerima dan tidak menentangnya."
Seorang mahasiswa lainnya, Olivia Oey, mengatakan bahwa terlepas dari pandangan banyak orang di negara asalnya, ia percaya bahwa seseorang tidak seharusnya dihakimi berdasarkan orientasi seksualnya.
"Saya yakin setiap orang berhak menjalani hidupnya dengan cara mereka sendiri."