Survei IDN Research Institute pada 2025 misalnya, 68 persen milenial dan 63 persen gen Z mengaku menunda pernikahan.
Di media sosial, gen z juga menggaungkan isu Marriage is Scary, dan ramai diperbincangkan.
Menurut Dr Mukhijab, dosen dan peneliti Sosiologi di Universitas Widya Mataram, Yogyakarta, fenomena ini memiliki penyebab sekaligus dampak yang beragam.
Dia menyebutkan, berdasar data statistik dari Badan Pusat Statistik (BPS) angka pernikahan pada 2023 dibandingkan angka pernikahan tahun sebelumnya, ternyata terjadi penurunan sekitar 128 ribu atau hingga 28,6 persen.

Dr Mukhijab, lecturer and researcher of Sociology at Widya Mataram University, Yogyakarta Credit: supplied/ Dr Mukhijab
Hasil survei lembaga swasta juga melihat ada kecenderungan melajang di kalangan anak-anak muda.
Jadi, ada data statistik yang menunjukkan anak-anak muda menunda pernikahan, termasuk anak-anak dari gen z, ujar Mukhijab lagi.
Dia menilai ada semacam perubahan struktur sosial di masyarakat.
Capaian tingkat pendidikan, baik remaja laki-laki maupun perempuan semakin tinggi. Mereka yang berpendidikan tinggi, kata Mukhijab, akan mengutamakan pekerjaan.
Di sisi lain, ada juga aspek ekonomi. Dinamika ekonomi Indonesia dalam kurun 10 tahun terakhir cenderung fluktuatif.
Meskipun angka pertumbuhan nasional bisa mencapai 5 bahkan lebih, tetapi yang dirasakan oleh masyarakat, termasuk gen z, adalah problem-problem keseharian, seperti harga pangan dan perumahan yang tinggi, sementara pendapatan mereka cenderung lebih rendah.
Dampak penundaan atau penurunan angka pernikahan tidak bisa dilihat dari satu sisi.
Dari sisi positif, mereka yang menunda pernikahan memiliki kesempatan untuk meningkatkan kualitas hidup.
Mereka akan menikah pada saat sudah mapan, sehingga kualitas kehidupan rumah tangganya akan baik, kata dia.
Dari sisi lain, ketika seseorang tidak menikah karena problem ekonomi, dampaknya bisa saja negatif.
Secara personal, sosiolog ini menilai akan ada tekanan sosial yang tinggi.

Wedding party Credit: SBS Indonesian/RO
Dari sisi yang lain, pernikahan bagi masyarakat Indonesia adalah sebuah “arena pesta” yang memiliki efek berantai bagi sektor bisnis.
Orang Indonesia melihat pernikahan sebagai semacam pesta massal, dengan ratusan bahkan kadang ribuan tamu diundang.
Sebuah acara pernikahan karena itu membawa dampak juga bagi bisnis.
Di Amerika, kata Mukhijab ketika terjadi puncak penurunan angka pernikahan pada 2019 lalu, sektor industri pernikahan menyumbang penurunan ekonomi sampai 76 miliar dolar.
Di Indonesia, bukan tidak mungkin dampaknya akan sama, bahkan mungkin lebih tinggi.

Wedding crowd Credit: unsplash/Muradi
Jika ada anggota keluarga yang menunda pernikahan, akan ada persoalan internal. Dari sisi sosiologis, masyarakat Indonesia cenderung melihat pernikahan sebagai simbol kemandirian hidup bagi pasangan itu.
Mereka yang belum menikah, akan hidup bersama orang tua atau keluarga inti mereka, dan ini kadang dinilai sebagai beban dan sumber masalah.
Di sisi lain, ada problem kebutuhan emosional, ketika seseorang yang belum menikah terus menerus menerima pertanyaan tentang kapan dia akan menikah. Mukhijab menambahkan, akan muncul alienasi, dalam istilah Karl Marx. Dampak lanjutannya adalah akan ada generasi yang tidak bahagia, generasi yang terganggu mentalnya, meskipun secara ekonomi cukup mapan.
Masyarakat Indonesia cenderung memiliki relasi sosial yang tinggi.
Kondisi ini dapat dimanfaatkan untuk memberikan jalan keluar bagi persoalan ini. Indonesia membutuhkan langkah untuk meningkatkan angka penikahan, demi menghindari persoalan kesehatan mental dan sekaligus menjaga keseimbangan demografi. Jika penundaan pernikahan terus terjadi, akan ada komposisi masyarakat dimana generasi tua lebih dominan.
Salah satu yang harus dibenahi adalah situasi ekonomi. Selain itu, dikampanyekan kesadaran bahwa di masyarakat Indonesia, pernikahan tidak sekedar relasi sosial teknis untuk mencukupi kebutuhan emosional dua orang saja. Dalam pernikahan, lanjut Mukhijab, ada dimensi sosial ekonomi dan dimensi kesehatan mental.
——-
Nurhadi Sucahyo




