Pada 29 September lalu, Satuan Tugas (Satgas) Operasi Damai Cartenz (ODC) menggelar operasi untuk memberantas praktik jual-beli amunisi. Operasi ini digelar di kampung Karubate, Distrik Muara, Kabupaten Puncak Jaya, Papua Tengah.
Satgas ODC adalah pasukan keamanan gabungan TNI-Polri yang khusus dibentuk untuk mengendalikan keamanan di Papua. Salah satu misinya, adalah menumpas Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) yang berafiliasi dengan Organisasi Papua Merdeka.
Kedua pelaku dari pihak pembeli yang ditangkap adalah Erek Enumbi dan Hugon Gire. Sementara dua pelaku sebagai penjual, yang disebut sebagai anggota Badan Intelejen Strategis (BAIS), yang berada di bawah TNI, hingga pekan ini belum ditangkap.
Frits Ramandey, Kepala Kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Republik Indonesia Perwakilan Papua, mengapresiasi langkah Satgas ODC, yang dinilainya menunjukkan profesionalisme dan menjaga wibawa negara, dengan menangkap oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab itu.
Dia menegaskan, jual-beli amunisi gelap terutama di Papua bukanlah kejahatan biasa, ini adalah kejahatan yang sadis.
Di sisi lain, Frits juga mendesak TNI untuk segera mengumumkan upaya penyelidikan kasus ini di internal mereka. Kasus ini, kata dia, bukan yang pertama, dan bahkan menjadi kasus yang kesekian yang terus berulang. Tentu ada jaringan yang memungkinkan kejahatan tersebut terjadi.
Aparat keamanan juga pernah menangkap anggota polisi yang melakukan kejahatan serupa. Tetapi menurut Frits, penanganan kasusnya lebih terbuka, dengan anggota polisi tersebut sudah ditangkap dan diproses hukum, bahkan diberhentikan dari kepolisian.
Banyak kasus yang melibatkan anggota TNI tidak terdengar penyelesaiannya.
Frits mengingatkan bahwa TNI sebagai lembaga pertahanan di Indonesia membutuhkan publik atau masyarakat untuk turut menjaga atau menjadi bagian dari upaya pertahanan rakyat itu sendiri.
Menurut Frits, TNI harus mengumumkan bahwa ada oknum-oknum anggota mereka yang merusak wibawa bangsa, mencederai institusi TNI sendiri, dan menjadi bagian dari mafia kekerasan yang harus ditindak.
TNI mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk mengumumkan kepada publik, bahwa ada oknum-oknum anggota TNI yang terlibat. Apalagi ini dia menjadi bagian dari satuan strategis. BAIS itu Badan Intelejen Strategis, berarti ada yang salah dalam rekrutmen anggota BAIS, lanjut Frits.
Sudah jelas, sesuai pernyataan Satgas ODC, bahwa pelakunya adalah anggota TNI, yang juga anggota BAIS, tambah dia. Satgas ODC sendiri berisi anggota aparat keamanan dari unsur TNI dan Polri. Namun, karena pelaku penjualan amunisi ini adalah anggota BAIS, Satgas ODC tidak bisa langsung menindak.
Karena itulah, untuk kasus ini menurut Frits, Panglima TNI harus mengambil tindakan langsung. Anggota BAIS bisa saja berasal dari Angkatan Udara, Angkatan Laut atau Angkatan Darat. Inilah yang menyulitkan langkah penindakan secara langsung.
Penjualan senjata oleh aparat keamanan adalah sebuah lingkaran, karena senjata api itu nantinya akan dipakai untuk melakukan kekerasan bersenjata di Papua, dengan korban bisa masyarakat sipil ataupun aparat keamanan.
Di berbagai media sejak peristiwa tersebut, Frits telah mengatakan bahwa ada oknum aparat TNI yang menjadi bagian dari mafia yang memelihara kejahatan dan kekerasan di Papua.
Panglima TNI dan bahkan Presiden RI, kata dia harus melakukan evaluasi dan menindak langsung kejahatan ini, terlebih karena pelakunya anggota BAIS.
Menurut Frits, ada beberapa hal yang menyebabkan kejahatan semacam ini terus terulang di Papua. Pertama, pengawasan internal yang keliru. Kedua, penerapan cara operasi di Papua yang dilakukan secara sektoral, ada satgas Kopassus, BIN, BAIS, hingga Satgas polisi sendiri. Model semacam ini salah, kata Frits.
Komnas HAM cenderung memberi dukungan kepada Satgas ODC, karena diperlukan satu kesatuan dalam melakukan operasi, karena jika operasi dilakukan sektoral hasilnya adalah apa yang terjadi saat ini. Dengan membentuk Satgas ODC, Panglima TNI dan Kapolri secara bersama-sama bisa melakukan pengawasan.
Frits menerangkan teori kekerasan, dimana kekerasan timbul karena ada kekerasan sebelumnya. Jadi, lanjut dia, hal ini bisa dikualifikasikan bahwa kejahatan di Papua itu kejahatan terencana yang melibatkan aktor negara.
Frits menambahkan, tindak kejahatan ini mengandung dua hal yang berpotensi melanggar HAM. Pertama, dengan menjual senjata dan peluru, pelaku telah menyebarkan ketakutan. Kedua, tindakan tersebut bisa mengakibatkan hilangnya hak hidup. Maka itu kita boleh kualifikasikan dan itu memenuhi unsur sebagai perbuatan pelanggaran HAM, kata Frits.
Jika pihak TNI tidak mengungkapkan kejahatan ini, maka hal tersebut bisa dikualifikasikan sebagai skenario kejahatan serius. Dan kejahatan serius bisa dikualifikasikan sebagai pelanggaran HAM berat karena sistematis dan meluas, tambah dia lagi.