Sepekan setelah bencana, kondisi di lokasi masih sangat memprihatinkan, dengan masyarakat di daerah paling terdampak berjuang sendiri tanpa bantuan yang memadai.
Wartawan SBS News, Claudia Fanhart, melaporkan langsung dari Bireuen, Aceh, bahwa meskipun air banjir telah surut, tumpukan lumpur dan endapan pasir yang ditinggalkan oleh tanah longsor masih menggunung, bahkan mencapai setinggi atap rumah penduduk.
⚠️ Perjuangan Mandiri dan Minimnya Bantuan
Warga Aceh, yang rumahnya terendam lumpur atau bahkan tertutup hingga pintu dan jendela, terpaksa tinggal di tenda-tenda pengungsian darurat.
Mereka menghadapi kesulitan ekstrem dimana warga harus membersihkan lumpur yang tebal menggunakan sekop dan tangan kosong, tanpa peralatan berat yang memadai. Upaya fisik yang melelahkan ini harus dilakukan di tengah kondisi kelelahan.

Resident clears thick mud using shovels and bare hands, without adequate heavy equipment Credit: SBS News/Claudia Farnhart
Tenda-tenda pengungsian sangat padat, dengan laporan hingga 50-100 orang di satu tenda tanpa alas tidur, selimut, atau tempat istirahat dan ibadah yang layak.

Woman washing clothes on the muddy road at the refugee camp. Credit: SBS News/Claudia Farnhart
🌉 Komunitas Terisolasi dan Kerusakan Infrastruktur
Zona dampak bencana ini sangat luas, mencakup tiga provinsi di Sumatera Utara (Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat).
Komunitas yang paling parah adalah yang masih terisolasi total karena kerusakan infrastruktur.
Tanah longsor dan banjir bandang menyebabkan setidaknya belasan jembatan di Aceh dan jumlah serupa di Sumatera Utara runtuh.
Jalan raya utama regional hancur dan terputus oleh longsor, membuat akses darat mustahil.
Saat ini, satu-satunya cara untuk menjangkau komunitas terisolasi adalah melalui udara, dengan pemerintah mengirimkan bantuan melalui helikopter dan pesawat.
Namun, warga di wilayah ini mengeluh bantuan yang diterima belum memadai, bahkan ada yang belum menerima bantuan sama sekali setelah seminggu.
💔 Mengenang Tsunami 2004 dan Kekhawatiran Kesehatan
Gubernur Aceh menyatakan bahwa bencana ini adalah yang terburuk sejak Tsunami 2004, sebuah perbandingan yang mencengangkan mengingat kedahsyatan bencana tersebut 21 tahun lalu.
Selain sandang, pangan, dan papan, isu kesehatan menjadi kekhawatiran besar. Lumpur dan genangan air setelah banjir meningkatkan risiko kontaminasi sumber air bersih.
Beberapa warga telah melaporkan infeksi kulit. Jaringan listrik dan komunikasi (telepon) juga rusak parah, memperburuk masalah sanitasi dan mempersulit penyaluran informasi dari daerah terpencil.
Saat ini, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan kelompok masyarakat sipil menjadi aktor utama dalam penyaluran bantuan. Namun, meskipun skala kehancuran sangat besar, belum terdengar adanya seruan bantuan besar dari luar negeri, yang menimbulkan rasa "terputus" di kalangan penyintas, terutama setelah komunitas mereka sempat terisolasi secara fisik.
🌧️ Ancaman Hujan Lanjutan
Meskipun cuaca terburuk telah berlalu, hujan harian masih turun dan dikhawatirkan dapat melarutkan kembali lumpur yang sudah mulai mengering. Hal ini dapat menghambat upaya pembersihan dan menciptakan situasi berbahaya karena lumpur tebal dapat menjebak kaki yang melangkah.
Meskipun menghadapi kesulitan yang luar biasa, masyarakat di Aceh menunjukkan ketahanan yang luar biasa. Mereka bersemangat untuk memulihkan dan membangun kembali komunitas mereka, namun mereka sangat membutuhkan bantuan dan dukungan yang lebih besar dari pihak luar untuk memulai proses pemulihan.




