Meskipun sebagian lansia memilih tinggal terpisah untuk menghindari konflik dengan anak atau menantu, data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia dan pendapat pakar menunjukkan kondisi yang sebaliknya.
Data BPS Indonesia tahun 2024 (berdasarkan sumber data Susenas Maret 2024 untuk publikasi Statistik Penduduk Lanjut Usia 2024) serta pendapat pakar konsisten menyebutkan bahwa mayoritas lansia di Indonesia masih tinggal bersama keluarga dalam rumah tangga multigenerasi.
Hal ini mengindikasikan bahwa dukungan keluarga masih menjadi pilihan utama bagi banyak lansia.

Lathifah Hanum, PhD candidate School of Psychology, at University of Queensland Credit: Lathifah Hanum
Selain itu, sekitar 54% lansia masih menjabat sebagai kepala rumah tangga yang bertugas menanggung kebutuhan keluarga.
Peran ganda sebagai pemilik dan penanggung jawab finansial ini menjadikan kelompok lansia rentan terhadap tekanan ekonomi dan psikologis, meskipun terjadi peningkatan angka harapan hidup dari 70 tahun pada tahun 2015 menjadi 72 tahun pada tahun 2024.
SBS Indonesian berbincang dengan Lathifah Hanum S.Psi. M.Psi. Psikolog, dosen di Fakultas Psikologi UI yang saat ini sedang tugas belajar S3 di The University of Queensland di Brisbane, tentang hubungan lansia dan keluarga mereka.

Intergenerational co-residence conference Credit: Lathifah Hanum
Hasil survei menunjukkan bahwa kualitas hidup lansia utamanya ditentukan oleh jejaring sosial yang memberi mereka rasa dihargai dan didukung, bukan hanya tempat tinggal semata.
Bahkan, sebagian lansia menilai tinggal di panti werdha (panti jompo) justru dapat membantu mereka tetap mandiri.
Intinya, yang terpenting bagi lansia adalah tetap merasa dihargai, memiliki ruang untuk kemandirian, dan memiliki jaringan sosial yang suportif. Oleh karena itu, dukungan dari keluarga, lingkungan sekitar, dan kebijakan pemerintah yang responsif menjadi faktor kunci yang sangat menentukan agar masa tua dapat dijalani dengan bermartabat dan sejahtera.






