Usulan pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada mantan Presiden Indonesia Soeharto telah memicu kontroversi yang signifikan, memicu penolakan keras dari para akademisi, profesor, dan aktivis.
Sejarawan Muhammad Iqbal dari UIN Palangka Raya termasuk di antara mereka yang menentang pemberian gelar tersebut, dengan mengutip pemerintahan otoriter Soeharto dan dampak negatifnya terhadap demokrasi dan kebebasan sipil Indonesia.

Muhammad Iqbal, Historian from UIN Palangka Raya. Credit: Muhammad Iqbal
Iqbal menegaskan bahwa pemerintahan Soeharto selama 30 tahun, yang dikenal sebagai Orde Baru, secara sistematis membunuh demokrasi Indonesia. Tindakan-tindakan kuncinya meliputi:
Soeharto menyingkirkan perwira militer dan politisi sipil yang dianggap sebagai ancaman terhadap kekuasaannya.
Sistem multipartai dikurangi dan dikontrol ketat, mengkonsolidasikan kekuasaan politik menjadi hanya tiga entitas yang sah: Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demokrasi Indonesia (PDI), dan Karya atau Golkar.
Pemilu pada masa Orde Baru bersifat otoriter, meskipun disajikan sebagai demokratis, dan terutama berfungsi untuk melegitimasi pemerintahan Soeharto.
Iqbal lebih lanjut mengkritik Orde Baru atas korupsi dan kekerasan yang merajalela:
Korupsi menjadi sangat mengakar dan dilakukan melalui patronase negara. Soeharto juga terkenal memperkaya kroni-kroninya.
Former Indonesian President Suharto Source: AAP
Rezim ini memiliki rekam jejak pelanggaran hak asasi manusia dan represi politik yang terdokumentasi. Pelanggaran-pelanggaran ini khususnya menonjol pada periode pasca-1965 dan melibatkan pemecatan paksa lawan-lawan politik.
Insiden-insiden kekerasan negara yang signifikan meliputi peristiwa Malari 1974, peristiwa Tanjung Priok 1984, dan kekerasan menjelang jatuhnya Soeharto pada tahun 1998, yang menunjukkan penggunaan kekuatan militeristik oleh rezim tersebut untuk melanggengkan pseudo-stabilitas.
Iqbal menekankan bahwa praktik-praktik ini pada dasarnya bertentangan dengan nilai-nilai kepahlawanan, yang menuntut integritas dan pengabdian tanpa pamrih kepada rakyat.
Jatuhnya Suharto dan Seruan Penolakan
Berakhirnya kekuasaan Suharto, menurut Iqbal, bukan dipicu oleh pengkhianatan militer, melainkan oleh hilangnya legitimasi sosial-ekonomi. Krisis moneter 1997 menghancurkan basis keuangan sistem patronase politik, dan kelas menengah akhirnya menolak hidup di bawah pemerintahan yang korup dan otoriter.
Meskipun Menteri Kebudayaan saat ini, Fadli Zon, melaporkan kepada Presiden Prabowo Subianto tentang kesiapannya untuk menganugerahkan gelar pahlawan dan mengklaim bahwa Suharto tidak terlibat dalam tuduhan seperti peristiwa '65, Iqbal membantah bahwa risalah ilmiah yang objektif menunjukkan keterlibatan Suharto.
Meskipun mengakui peran awal Suharto dalam perbaikan ekonomi, Iqbal menyimpulkan bahwa warisan otoritarianisme, korupsi, dan pelanggaran hak asasi manusia yang masih ada memiliki dampak yang jauh lebih besar dan lebih negatif terhadap kehidupan demokrasi Indonesia.
Iqbal menegaskan bahwa gelar Pahlawan Nasional seharusnya hanya diberikan kepada mereka yang berkorban demi kepentingan bangsa.
Ia mendesak Presiden Prabowo untuk mengutamakan bukti empiris yang objektif dan suara publik yang tinggi—diwakili oleh lebih dari 500 akademisi dan aktivis—yang menolak usulan tersebut karena akan "melukai ingatan sejarah" dan mengabaikan penderitaan korban rezim Orde Baru.
Dengarkan SBS Indonesian setiap hari Senin, Rabu, Jumat, dan Minggu jam 3 sore. Ikuti kami di Facebook dan Instagram, serta jangan lewatkan podcast kami.




