Polemik Pemberian Gelar Pahlawan Nasional untuk Mantan Presiden Soeharto

Suharto_resigns

Suharto, Second President of Indonesia. Resignation, Merdeka Palace, 21 May 1998 Credit: History/Universal Images Group via Getty Images

Pemerintah Indonesia berencana memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada mantan Presiden Soeharto. Rencana ini ditentang banyak pihak, termasuk lebih dari 500 aktivis yang tokoh nasional yang secara resmi menyampaikan keberatannya.


Menteri-menteri yang terlibat dalam proses ini menilai, langkah pemerintah tepat dan didasarkan alasan kuat.

Muhammad Iqbal adalah sejarawan di Universitas Islam Negeri (UIN) Palangkaraya. Dia juga peneliti dan penulis buku sejarah, yang memahami bagaimana konteks sejarah dalam kasus ini.

Dia menggarisbawahi, bahwa semua pihak harus mendudukkan posisi Presiden Soeharto dalam konteks sejarah secara objektif dan ilmiah. Pertama, kata dia adalah dalam 30 tahun Soeharto menjabat, ada konteks otoritarianisme dan pelanggaran demokrasi.

Iqbal mengatakan, Soeharto menjalankan pemerintahan dengan struktur kekuasaan yang bersifat otoriter. Dia membangun kekuasaan melalui strategi stick and carrot, yakni memberi penghargaan kepada yang loyal dan menyingkirkan yang kritis.
Muhammad Iqbal
Muhammad Iqbal, Historian from UIN Palangka Raya. Credit: Muhammad Iqbal
Soeharto menyingkirkan perwira militer maupun politisi sipil yang dianggapnya berpotensi mengancam kekuasaan. Selain itu Soeharto juga menciptakan sistem politik yang dibonsai. Indonesia yang sebelumnya memiliki banyak partai, dikecilkan atau dibonsai menjadi hanya tiga partai saja, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan Golongan Karya atau Golkar.

Pemilu-pemilu di masa orde baru, direkayasa untuk sekadar melegitimasi kekuasaan Soeharto, seolah-olah demokratis padahal otoritarian, kata Iqbal.

Praktik kekuasaan Soeharto selama 30 tahun, secara sistematis telah membunuh demokrasi Indonesia, menghapus oposisi politik dan mengekang kebebasan sipil.

Dalam konteks sejarah yang lain, lanjut Iqbal, pemerintahan Orde Baru di bawah Soeharto memanfaatkan kekuasaan selama 30 tahun itu, untuk membangun politik dinasti atau dinasti politik keluarganya. Soeharto memperkaya kroni-kroninya, dan upaya ini sangat jelas. Iqbal memberi contoh, ketika Siti Hardiyanti Rukmana atau mbak Tutut, anak Soeharto tertua, disiapkan untuk menjadi penerus politiknya, itu menunjukkan kecenderungan pewarisan kekuasaan yang bertentangan dengan prinsip republik.

Di masa Soeharto atau selama masa Orde Baru, korupsi menjadi sistemik dan dijalankan lewat patronase negara.


Semua ini, lanjut Iqbal, bertentangan dengan nilai-nilai kepahlawanan yang menuntut integritas dan pengabdian tanpa pamrih kepada rakyat dalam konteks kepahlawanan nasional. Selain itu, Orde Baru juga memiliki catatan pelanggaran HAM dan represi politik. Selama 30 tahun berkuasa, Presiden Soeharto dan pemerintah Orde Baru melakukan pelanggaran HAM kelas berat, terutama pada masa pasca 1965, penindasan terhadap oposisi politik, menyingkirkan lawan politik dengan tangan besi.

Selain itu, kekerasan negara juga sangat terlihat sejak peristiwa Malari 1974, peristiwa Tanjung Priok 1984, dan menjelang lengsernya Soeharto tahun 1998 atau dikenal sebagai reformasi, kata Iqbal lagi.

Semua itu adalah bukti bahwa rezim Soeharto menggunakan kekuatan militeristik untuk melanggengkan stabilitas semu.

Pekan ini, Menteri Kebudayaan Fadli Zon telah melapor kepada Presiden Prabowo terkait kesiapan pemberian gelar pahlawan. Kepada Presiden, Fadli Zon menyampaikan bahwa ada 40 nama calon pahlawan nasional yang baru diusulkan, serta 9 nama tambahan yang pernah diusulkan tahun sebelumnya. Dari jumlah tersebut, kata Fadli, 24 nama menjadi usulan prioritas.

Kepada para jurnalis yang menemuinya usai bertemu Presiden, Fadli Zon mengatakan Soeharto tidak terlibat dalam kasus-kasus yang dituduhkan. Dia mengatakan, tidak pernah ada bukti terkait tuduhan genosida atau peristiwa '65.

Sebelumnya, lebih dari 500 akademisi, guru besar, dan aktivis dari berbagai bidang menyatakan menolak rencana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto. Dalam pernyataannya, mereka menilai keputusan itu melukai ingatan sejarah dan mengabaikan penderitaan korban rezim Orde Baru.
Diwakili Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid, para aktivis meminta Presiden Prabowo Subianto tidak mengabaikan suara publik. Mereka juga meminta rencana pemberian gelar ini dibatalkan.

Sejarawan UIN Palangka Raya, Muhammad Iqbal menilai, bahwa penting untuk melihat masa menjelang kejatuhan Presiden Soeharto. Dalam konteks sejarah Indonesia, Soeharto ketika itu memasuki masa-masa kehilangan legitimasi sosial-ekonomi. Dalam konteks itu, lanjut Iqbal, krisis moneter tahun 1997 telah menghancurkan kemampuan negara untuk menopang sistem patronase politik. Strategi yang sudah lama dipakai oleh Soeharto gagal, karena tidak ada yang membelanya lagi.
Soeharto sendiri jatuh itu dalam konteks sejarah bukan karena penghianatan militer, tetapi karena memang kelas menengah, yaitu kelompok masyarakat yang naik kelas di Indonesia, menolak hidup di bawah pemerintahan otoriter yang koruptif, ujar Iqbal.

Terkait gelar Pahlawan Nasional, seharusnya hanya diberikan kepada orang, kelompok atau pihak-pihak yang berkorban untuk kepentingan bangsa.

Dalam konteks etika politik dan sejarah, Iqbal menilai, Presiden Soeharto di masa 30 tahun kekuasaannya telah gagal mewariskan tradisi kepemimpinan dan kenegarawanan. Iqbal juga menegaskan, bahwa meskipun pemerintah saat ini, misalnya lewat Menteri Kebudayaan Fadli Zon mengatakan bahwa Soeharto tidak terlibat dalam peristiwa 1965, namun banyak risalah-risalah ilmiah objektif yang sudah dipublikasikan mengatakan, bahwa Soeharto memang terlibat langsung atau tidak langsung dalam peristiwa ‘65.

Soeharto di sisi lain memang memiliki peran, misalnya dalam perbaikan ekonomi di awal masa pemerintahannya. Namun, konteks warisan otoritarianisme, korupsi, dan pelanggaran HAM jauh lebih besar dampaknya terhadap kehidupan demokrasi di Indonesia.

Bagi Presiden Prabowo Subianto, ini adalah waktunya untuk menempatkan kepentingan masyarakat diatas kepentingan pribadi. Sebagai seorang negarawan dan pemimpin, menurut Iqbal seharusnya Presiden Prabowo menempatkan bukti-bukti empiris objektif dan suara masyarakat yang tinggi, dalam menolak pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden Soeharto.

Dengarkan SBS Indonesian setiap hari Senin, Rabu, Jumat, dan Minggu jam 3 sore. Ikuti kami di Facebook dan Instagram, serta jangan lewatkan podcast kami.

Share
Follow SBS Indonesian

Download our apps
SBS Audio
SBS On Demand

Listen to our podcasts
Independent news and stories connecting you to life in Australia and Indonesian-speaking Australians.
Ease into the English language and Australian culture. We make learning English convenient, fun and practical.
Get the latest with our exclusive in-language podcasts on your favourite podcast apps.

Watch on SBS
SBS Indonesian News

SBS Indonesian News

Watch it onDemand