Lima hari setelah gempa yang disusul tsunami menghantam wilayah tengah Pulau Sulawesi pada 28 Sept 2018, wilayah Utara pulau terbesar ke 4 di Indonesia itu terselubungi asap gelap vulkanik dari Gunungapi Soputan.
Setelah dinaikkan statusnya di tanggal 3 Oktober pukul 01:00 WITA, episode erupsi gunungapi ini dimulai pada hari yang sama pada pukul 08:47 WITA. Erupsi tersebut memiliki tinggi kolom abu mencapai sekitar 4000 m di atas puncak (sekitar 5800 m di atas permukaan laut) dan terekam di seismogram dengan amplitudo maksimum 39 mm dengan durasi sekitar 6 menit.
Saat dimintai keterangan oleh SBS Indonesian, Martanto - Penyelidik Geologi Subbidang Mitigasi Gunungapi PVMBG (Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi) Wilayah Timur - mengatakan bahwa ada korelasi antara gempa dengan aktivitas gunung api. Namun gempa tidak sepenuhnya akan selalu jadi pemicu peningkatan aktivitas.
Martanto menambahkan bahwa masyarakat perlu mewaspadai daerah-daerah yang memiliki potensi bencana geologi yang tinggi. Peta potensi ini bisa diakses oleh masyarakat, sehingga diharapkan mereka waspada terhadap ancaman ketika bencana geologi sedang terjadi.
Terkait dengan apakah gempa dan tsunami yang melanda kota Palu menjadi penyebab erupsinya Gunungapi Soputan, Martanto menyampaikan bahwa sejauh ini belum ada kesimpulan atau hasil penyelidikan dan penelitian yang membuktikan bahwa penyebab erupsi ini adalah gempa Palu satu minggu yang lalu.
Dirinya menambahkan bahwa aktivitas vulkanik Soputan telah meningkat jauh sejak gempa Palu terjadi, dimana siaran pers Magma Indonesia menyebutkan bahwa guguran lava gunung api ini mengalami peningkatan secara perlahan sejak pertengahan Juli hingga akhir Agustus lalu.
Hingga siang ini (pk. 14:30 AEST), Gunungapi Soputan masih dalam tingkat Siaga (Level III). PVMBG menyarankan salah satunya agar masyarakat tidak beraktivitas di seluruh area di dalam radius 4 km dari puncak dan di dalam area perluasan sektoral ke arah Barat - Baratdaya sejauh 6,5 km.
Share



