Feature

Pengusaha Indonesia di Melbourne membangun startup company yang membantu banyak bisnis berjalan saat pandemi

Begitu banyak bisnis yang lumpuh dan rontok di masa pandemi, tapi banyak juga yang menemukan peluang baru dari wabah yang telah mengubah wajah dunia dan cara manusia berniaga. Seorang pengusaha Indonesia di Melbourne membangun perusahaan rintisan (startup company) yang membantu banyak pengusaha Indonesia lainnya beradaptasi dengan situasi pandemi. Ia terinspirasi dari masyarakat Indonesia di perantauan yang suka memesan makanan dari media sosial dan melihat sisi manusia di saat krisis; senang saling menolong.

Home cooking delivery

Joseph Edu, a courier for startup company Doodel, picks up home cooking. Edu's tour and travel business forced to hibernate during border closure. Source: SBS/Alfred Ginting

Pandemi virus corona merontokkan banyak sektor bisnis atau terpaksa hibernasi untuk jangka waktu yang sangat panjang, seperti yang terjadi di kota Melbourne.

Melbourne masih mengalami pembatasan atau lockdown tingkat empat setidaknya hingga 19 Oktober, dimana bisnis yang boleh beroperasi hanya yang bersifat esensial.

Seorang pengusaha Indonesia di Melbourne, Hasan Panetta harus menghadapi kenyataan bisnisnya harus mengalah pada pandemi.

Hasan menjalankan bisnis penyewaan modem wifi seluler bagi turis untuk memudahkan mereka mengakses internet di luar negeri. Pasar terbesarnya adalah pelancong ke Jepang.

Sejak dimulai tahun 2014, bisnis Hasan terus menunjukkan tren positif dan periode Agustus 2019 hingga Februari 2020 adalah penjualan terbaiknya.

Pada awal tahun 2020 ia berinvestasi puluhan ribu dollar untuk membeli seribu unit alat untuk memenuhi permintaan yang terus meningkat.
Bulan Februari 2020, pandemi mulai memukul Australia dan pemerintah menerapkan penutupan perbatasan pada Maret.

“Selama sebulan pertama lockdown pekerjaan saya hanya mengembalikan pembayaran dari pelanggan yang membatalkan perjalanannya. Bahkan bangun pagi, yang saya kerjakan ” kata Hasan.

“Setelah semua pengembalian uang selesai, saya mulai berpikir, bagaimana masa depan industri travel dan melakukan apa selanjutnya.”
Hasan Panetta
Hasan Panetta started startup company Doodel inspired by his wife home pastry business that busier during pandemic. Source: SBS/Alfred Ginting
Istri Hasan seorang pastry chef yang menjalankan bisnis rumahan menerima lebih banyak permintaan saat pandemi.

“Saya berpikir kenapa justru di masa pandemi penjualannya semakin bagus?” kata Hasan.

“Saya melihat ternyata manusia di masa susah saling membantu. Pelanggan istri saya mulai dari teman-temannya, mereka bagi di media sosial lalu yang lain pesan. Istri saya tidak punya website, hanya Instagram.”

Solusi saling menguntungkan

Dari media sosial Hasan mengetahui beberapa restoran Indonesia tutup karena aturan pembatasan corona di Melbourne hanya diperbolehkan melayani pesan antar atau dibawa pulang, tidak ada makan di tempat.

“Banyak restoran bikin open PO (purchase order). Saya juga sering pesan. Di situ saya melihat ada pasar untuk delivery yang bukan one to one dan radiusnya terbatas seperti Uber,” kata Hasan.

“Saya mulai memikirkan model bisnis pengantaran one to many, bisa melayani orang yang ingin menu dari restoran favoritnya yang jaraknya lebih dari lima kilometer.”

Pada awal Agustus -- saat Melbourne mengalami pembatasan virus corona tingkat empat -- Hasan meluncurkan Doodel yang menghubungkan restoran atau produsen makanan rumahan, pembeli dan kurir.

“Saya tidak hanya menyediakan delivery, tapi juga membantu merchant untuk berkembang, dari yang tidak punya website tapi bisa digitasi lewat website Doodel. Pembayaran secara digital bisa kartu kredit atau paypal,” kata Hasan.

Pembeli hanya membayar tarif rata $5 untuk ke seluruh metropolitan Melbourne, dan Doodel mengambil komisi dari merchant yang jauh lebih kecil daripada perusahaan kurir makanan lain.

"Saya ingin membuat model bisnis yang win-win solution, untuk merchant, pembeli, dan kurir.”

Dalam waktu dekat Hasan yang  saat ini dibantu oleh lima orang akan meluncurkan aplikasi Doodel, yang saat ini masih dalam versi beta.

“Aplikasi perlu untuk lebih dekat dengan pelanggan, mengakses lewat web browser itu ada jarak. Dengan app pelanggan bisa lebih dekat karena ada push notifications, ada reminder, bisa tahu status order,” kata Hasan.

Hasan mengatakan dari hasil pengolahan data transaksi lewat Doodel, rata-rata pemesanan pelanggan senilai $62.

Cara bertahan hidup

Salah satu pengadopsi awal Doodel adalah Alihadhi Soehanto, pemilik Bamboe Restaurant di Camberwell yang sebelum pandemi tidak melayani delivery dan catering.

"Sekarang delivery sebagai survival mode. Memang ada pengurangan sewa dari landlord, dan bantuan dari pemerintah. Tapi biaya utility dan pegawai harus dibayar, mereka pelajar yang tidak mendapat bantuan pemerintah," kata Ali.

Ali mengatakan dengan Doodel ia bisa menjangkau pembeli yang lokasinya jauh dan ia mendapat banyak pelanggan baru lewat Doodel.
Alihadhi Soehanto
Bamboe Restaurant provides delivery food as as survival mode during pandemic. Source: SBS/Alfred Ginting
Sebelum pandemi pelanggan Bamboe kebanyakan orang Singapura, Malaysia, India dan Filipina, tapi di masa pandemi 90 persen orang Indonesia.

Di masa normal konsep menu Bamboe mengarah pada fusion dengan presentasi yang memikat, sementara saat pandemi Ali menawarkan menu Indonesia misalnya paket gudeg dan khas Jawa Timur seperti rujak cingur.

"Pelanggan yang suka presentasi pasti maunya makan di restoran, jadi mereka kurang berminat untuk delivery. Take away saya desain untuk paket masakan Indonesia, bukan dengan garnish yang fusion karena akan jadi mahal," kata Ali.

"Kalau dengan garnish yang fusion untuk delivery, sampai di pembeli pasti sudah tidak terlihat bagus."

Bamboe Restaurant berlokasi yang sama dengan Camberwell Sunday Market, pasar barang bekas terbesar di Australia. Sejumlah cafe dan restoran di sekitar Bamboe tidak bertahan saat pandemi.

Pesanan membeludak saat lockdown

Saat ini Dodel telah memiliki 20 merchant dan 20 mitra bisnis lainnya yang memakai jasa Doodel, salah satunya supermarket produk Indonesia di Melbourne, Harvest Grocery.

Iwan Siswojo Tedjokusumo, pemilik Harvest, mengatakan pembatasan tingkat empat di Melbourne membuat pihaknya menerima sekitar 25-30 pesanan tiap hari, jauh lebih sibuk dari sebelumnya.

Sekitar 90 persen yang dijual Harvest adalah produk Indonesia dan sisanya produk yang disukai orang Indonesia.

"Dengan pembatasan belanja lima kilometer, pembeli di luar radius itu harus pakai jasa delivery. Sebelumnya kami pakai in-house driver, hanya bisa mengantar 2-3 kali seminggu. Untuk area yang jauh kita harus tunggu ada beberapa pesanan dulu, tidak bisa mengirim kalau hanya satu pesanan ke area itu," kata Iwan.

"Sekarang Doodel berkomitmen mengirim tiap hari, kemana saja. Jadi kami sangat terbantu, dan pembeli juga bisa mendapatkan pesanan lebih cepat."
Harvest Grocery
Harvest Indonesian Grocery in South Yarra. Source: SBS/Alfred Ginting
Harvest menerapkan ongkos pengiriman $10.50 atau bebas biaya bila pembelanjaan di atas jumlah tertentu. 

Iwan menjalankan e-commerce lewat tozerba.com, yang ia tujukan menjadi platform bagi semua warga Indonesia di Melbourne yang ingin berniaga lewat internet.

Nafkah bagi yang kehilangan pekerjaan

Hasan menamai mitra kurirnya sebagai Doodelion, penggabungan dari Doodel dan Minion.

“Minion kan ada jutaan. Saya ingin nantinya ada jutaan Doodelion,” kata dia.

“Banyak Doodelion yang bergabung karena mereka kehilangan pekerjaan. Doodelion juga membawa pelanggan dan merchant baru untuk Doodel.”

Joseph Edu, seorang Doodelion yang bergabung sejak awal, sebelum pandemi menjalankan bisnis tur untuk turis yang datang ke Melbourne, terutama dari Indonesia.

“Sejak bulan Maret tidak ada tamu sama sekali. Doodel jadi pekerjaan baru buat orang saya yang punya kendaraan untuk bisnis tapi menjadi tidak terpakai karena pandemi,” kata Edu.

“Sekarang justru saya lebih sibuk, bekerja setiap hari, dibandingkan dulu saat masih menjalankan tur, belum tentu bekerja setiap hari.”

Edu mengatakan model bisnis seperti Doodel tetap akan bertahan saat pandemi usai dan tidak ada lagi pembatasan mobilitas.

“Orang akan menjadi terbiasa, seperti Gojek di Indonesia. Sudah jadi seperti kebutuhan,” kata Edu.

Membantu ‘dapur hantu’

Doodel terus menambah daftar merchant, namun hanya bekerja sama dengan pembuat makanan yang mengantongi izin, sekalipun berproduksi dari rumah.

Di saat pandemi semakin menjamur penawaran masakan rumahan di media sosial, meski pelakunya berisiko dijatuhi denda bila tidak tersertifikasi.

Untuk mendapatkan izin produksi makanan rumahan harus mengikuti prosedur seperti kondisi dapur sesuai standar dewan kota.

Alternatif bagi pembuat makanan yang ingin berproduksi secara resmi tanpa memiliki restoran adalah menyewa dapur komersial, yang belakangan ini menjadi tren yang sering cloud kitchen atau ghost kitchen.

Mitra Doodel yang berproduksi dari 'dapur hantu' adalah Dale La Pau yang dijalankan oleh Intan Kieflie dan anaknya Dale Carnegie  
Intan Kieflie
Intan Kieflie hires commercial kitchen for her West Sumatran cuisine production. Source: SBS/Alfred Ginting
Sejak bulan Juni lalu, Intan memasarkan masakan khas Minang dari dapur komersial sewaan di kawasan Footscray.

“Saya mau bisnis dengan aturan dan standar pemerintah, jadi masakan kami memenuhi standar keamanan makanan. Itu memudahkan kami memasarkan, tidak hanya ke pasar orang Indonesia, tapi ke masyarakat umum," kata Intan yang berasal dari Bukittinggi, Sumatera Barat.

"Saya bisa memasak di dapur yang sesuai standar komersial, lega. Tidak khawatir karena kucing-kucingan dengan council.”

Dua kali sepekan Intan memasak di dapur komersial yang dipakai berbagi dengan empat produsen makanan lainnya.

Kehadiran Doodel membuat Intan tak perlu memikirkan pengantaran ke pembeli, sehingga lebih fokus dalam urusan dapur dan pemasaran.

Belakangan rendang sedang naik daun, terutama sejak Perdana Menteri Australia Scott Morrison pada awal lockdown di media sosial memamerkan dirinya memasak rendang sapi, dan chef pesohor Gordon Ramsay memasak rendang saat mengunjungi Bukittinggi.

Itu membuat Intan semakin ingin memproduksi rendang dalam skala komersial dengan kualitas dan rasa yang tak jauh dengan rendang di kampuang nan jauh di mato.


Share

Published

Updated

By Alfred Ginting

Share this with family and friends


Follow SBS Indonesian

Download our apps
SBS Audio
SBS On Demand

Listen to our podcasts
Independent news and stories connecting you to life in Australia and Indonesian-speaking Australians.
Ease into the English language and Australian culture. We make learning English convenient, fun and practical.
Get the latest with our exclusive in-language podcasts on your favourite podcast apps.

Watch on SBS
SBS Indonesian News

SBS Indonesian News

Watch it onDemand