Hasil riset dari Roy Morgan menggambarkan situasi tersebut.
Lembaga riset dari Australia itu mewawancarai responden yang mewakili masyarakat Indonesia berusia 17 tahun ke atas dalam dua kesempatan. Pertama, wawancara dilakukan Oktober 2014 – Maret 2015 sebanyak 15.204 responden, dan Oktober 2024 – Maret 2025 sebanyak 5.499 responden.
Roy Morgan menanyakan: “Tiga isu apa yang paling penting bagi Anda”
Hasilnya, “menekan biaya hidup sehari-hari” kini menjadi agenda nasional pada 2025, dengan 44 persen warga Indonesia menyebutnya sebagai salah satu dari tiga isu terpenting mereka, naik 10 poin dari 34 persen pada 2014–2015.
“Memerangi korupsi” tetap menjadi prioritas utama, dengan suara dari 41 persen rakyat Indonesia, sama seperti satu dekade lalu, tetapi turun menjadi prioritas nomor dua.
Sementara isu-isu pasar tenaga kerja juga semakin penting, dengan kekhawatiran tentang “mengurangi pengangguran” meningkat di hampir sepertiga populasi, dari 24 persen menjadi 31 persen responden atau naik 7 poin
CEO Roy Morgan, Michele Levine mengatakan, “Hampir separuh masyarakat Indonesia menilai “menjaga biaya hidup sehari-hari tetap rendah” sebagai isu utama selama enam bulan pertama masa jabatan pertama Presiden Prabowo.”
Menanggapi hasil riset itu, Direktur Eksekutif International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), Siti Khoirun Ni’mah menyebut, ekonomi memang menjadi perhatian utama masyarakat Indonesia, terutama kelas menengah perkotaan, pasca pandemi Covid 19.

Executive Director International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), Siti Khoirun Ni’mah Credit: International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), Siti Khoirun Ni’mah
Biaya hidup yang semakin tinggi itu kian terasa karena diiringi dengan hadirnya berbagai ketidakpastian situasi.
Ni’mah memberi contoh, harga beras pada 2015, ketika riset Roy Morgan pertama dilakukan ada pada kisaran Rp 10 ribu perkilogram. Sementara saat ini, harganya sudah naik dan bahkan bisa mencapai Rp 15 ribu. Karena beras merupakan makanan pokok, kenaikannya akan berdampak pada harga-harga yang lain.
Menjaga kemampuan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari menjadi sangat penting bagi masyarakat karena dampaknya paling dekat dirasakan.
Ni’mah menekankan, bahwa isu korupsi turun menjadi prioritas kedua tidak berarti kasusnya turun.
“Korupsinya tetap tinggi dan tetap besar, kasus-kasus terakhir nilainya luar biasa, gajah-gajah. Sementara masyarakat merasakan kehidupan yang makin sulit. Memang korupsinya semakin gila, bisa jadi masyarakat lelah menyaksikan ini semua,” ujarnya.
Yang ironis adalah setelah sekian tahun, korupsi tidak turun, bahkan setelah ada lembaga khusus anti-korupsi. Selain itu, pelakunya adalah mereka yang dekat dengan kekuasaan.
“Bisa jadi, ada perasaan putus asa melihat situasi korupsi ini,” tambah Ni’mah.

Source: Moment RF / Yasser Chalid/Getty Images
Ni’mah juga meyakini ada langkah yang keliru terkait pemberantasan korupsi di Indonesia. Apalagi dengan iklim politik transaksional yang saat ini terjadi sangat sistemik.
Namun kondisi ini bukan seutuhnya timbul di masa pemerintahan Prabowo. Pemerintah sebelumnya, yaitu di era Joko Widodo selama dua perideo, telah kehilangan momentum pemberantasan korupsi. Di tengah dukungan masyarakat yang sangat tinggi pada awal masa pemerintahan Jokowi, tidak ada komitmen kuat pemberantasan korupsi.