Pulau-pulau kecil di daerah Nusatenggara ini juga ditinggal oleh ribuan warga, termasuk suku asli pulau Komodo. Pengembangan wisata oleh pemerintah pusat, ternyata mengancam eksistensi masyarakat adat itu. Agar wisatawan bisa menikmati eksotisme Komodo, warga lokal didesak untuk direlokasi.
Firmansyah Akbar adalah salah satu aktivis muda di kawasan pulau Komodo, yang aktif dalam pengembangan pariwisata di kawasan tersebut mengakui, bahwa tumbuhnya sektor pariwisata yang awalnya dikawal oleh Taman Nasional Komodo, memiliki dampak ekonomi yang sangat signifikan bagi warga.
Firman sendiri adalah pemandu wisata yang ikut memastikan kunjungan wisata berlangsung aman di tengah satwa Komodo liar.

Firmansyah Akbar, aktivis muda masyarakat Komodo Credit: supplied
Pada 2022, pemerintah daerah setempat bahkan berencana memindahkan masyarakat yang sudah tinggal ratusan tahun di pulau Komodo. Rencan ini tentu saja ditolak masyarakat.

Padar Island Credit: Kemenpar RI
Firman menceritakan, karena merasa keputusan pemerintah tidak adil bagi mereka, masyarakat bahkan bertekad menutup akses wisata di kawasan itu.
Pemerintah menerapkan standar yang terlalu berat untuk dipenuhi oleh masyarakat, misalnya dalam penyediaan tempat menginap. Para investor merencanakan pembangunan ratusan villa dan resort di beberapa pulau itu, sesuatu yang menurut Firman tidak akan mampu diimbangi warga lokal. Padahal selama ini, masyarakat setempat telah menjalankan usaha wisata dengan baik, seperti rute jalan kaki menelusuri pulau untuk melihat kehidupan Komodo.
Kelompok anak muda di pulau-pulau sekitar kawasan Komodo ini kompak menolak pemberian hak khusus kepada investor dalam pengembangan wisata di sana. Sementara sebagian masyarakat yang lebih tua, cenderung menerima dengan alasan terbukanya lapangan pekerjaan. Tetapi, menurut Firman, penerimaan itu disebabkan karena para orang tua itu tidak paham, bahwa kehadiran investor dalam jangka panjang akan merugikan mereka sendiri.
Salah satu investor yang mendapat perhatian besar dari masyarakat adalah PT Komodo Wildlife Ecotourism (PT KWE). Masyarakat menentang kehadiran perusahaan ini, karena proyek-proyeknya dinilai mengancam ekosistem dan kedaulatan wilayah adat. Bulan Agustus lalu, penolakan gencar kembali dilakukan ketika perusahaan tersebut mengumumkan rencana pembangunan pusat wisata di Pulau Padar.
Menurut dokumen konsultasi publik yang diselenggarkaan akhir juli 2025, investor ini akan membangun 619 unit bangunan. Termasuk di dalamnya adalah villa-villa eksklusif, fasilitas spa, serta fasilitas lain, yang memakan area seluas lebih 15 ribu hektar.

Ilustration of one of the new project for Taman Nasional Komodo at Rinca Island Credit: MenPan RI
Selama ini, masyarakat juga telah membangun homstay atau penginapan berbasis rumah warga, yang justru sangat digemari khususnya oleh wisatawan mancanegara. Firman menceritakan, dalam interaksinya dengan para wisatawan mancanegara ini, mereka mengatakan lebih ingin menikmati alam pulau Komodo dan sekitarnya, dengan menginap di homestay milik warga, dan berbaur lebih dekat dengan masyarakat.
Pendekatan ini juga tidak memerlukan pembangunan gedung dalam skala luas, yang akan mengurangi area hidup Komodo sendiri. Jika dibutuhkan fasilitas dalam jumlah lebih banyak, tenda-tenda sementara dengan fasilitas pendukung yang lengkap juga bisa dibuat. Apalagi wisata glamping saat ini cukup popular di berbagai daerah di Indonesia.
Jika ingin tinggal di resor-resor mewah, kata Firman, para wisatawan asing itu mengatakan mereka akan memilih Bali sebagai tujuan wisata. Justru mereka datang ke Komodo, karena ingin menikmati keaslian alamnya.
Firman juga mendesak pemerintah lebih mengakui eksistensi masyarakat adat.





