Papua, daerah yang penuh dengan berbagai persoalan seperti kekerasan dan menghadapi beban domestik yang cukup berat seperti kemiskinan dan berbagai keterbatasan, justru harus kembali melakukan Pemungutan Suara Ulang atau PSU, Pilkada gubernur dan wakil gubernur provinsi ini pada 6 Agustus 2025 atau pekan mendatang.
Ada 2 pasangan calon yang akan berlaga dalam pemungutan suara ulang pada 6 Agustus 2025 atau pekan depan. Keduanya adalah Benhur Tomi Mano berpasangan dengan Constant Karma dan Mathius Fakhiri berpasangan dengan Aryono Alberto Ferdinand Rumaropen.
Semua berharap bahwa pemungutan suara ulang ini bisa dilaksanakan secara damai, mengingat Papua membeli lebih banyak catatan kekerasan yang terkait dengan pelaksanaan pemilihan kepala daerah.

Security officers guard ballots in Papua. Credit: Papua Regional Government Public Relations Office.
“Kita harus becermin kembali ke belakang, di mana pada pemilihan umum yang kemarin memang ada hal-hal yang menjadi persoalan, akhirnya itu sampai di MK dan akhirnya diputuskan kembali untuk dilakukan PSU. Perlu kita pahami itu supaya jadi tolok ukur bagi kita, khususnya bagi pemerintah, atau bagi mereka yang maju sebagai calon, supaya hal-hal itu bisa diperhatikan, sehingga tidak akan terulang lagi,” kata dia ketika dihubungi.
Dia mengingatkan, melaksanakan PSU membuat masyarakat atau pemilih mengalami kerugian, seperti waktu dan kesempatan.
“Semua pihak harus bisa bekerja sama agar kita bisa memastikan PSU berlangsung transparan, adil dan bebas dari segala intimidasi yang akan terjadi,” kata dia lagi.
PSU di Papua ini terjadi karena gugatan yang diajukan pasangan calon nomor urut 2, Mathius D. Fakhiri dan Aryoko Alberto Ferdinand Rumaropen ke MK. Pada 24 Februari 2025, MK mengabulkan sebagian gugatan itu, yang membuat KPU wajib mengulang pelaksanaan pemungutan suara.
MK juga mendiskualifikasi calon wakil gubernur Papua nomor urut satu, Yermias Bisai, karena syarat pencalonannya dinilai tidak sah.
Suasana ini memanaskan kontestasi kedua calon di Papua.
“Kita melihat sisi di mana pencalonan ini, mulai dari pencalonan sampai hari ini kita lihat euforianya memang panas sekali. Sehingga kita berharap ini tidak memunculkan hal-hal yang tidak diinginkan bersama,” ujar Festus.

Poster for the implementation of the PSU for Papua Province on August 6, 2025. Credit: Papua KPU
Ketika ditanya mengenai situasi masyarakat di Jayapura dan Papua secara umum, Festus mengatakan, “Kalau kita melihat situasinya memang baik-baik saja, hanya lebih kepada media sosialnya itu sangat panas sekali, mengingat waktunya semakin dekat untuk PSU. Jangan sampai euforia yang terlalu panas di media sosial itu muncul secara tiba-tiba di lingkungan masyarakat. Kami berharap supaya ini bisa berjalan aman dan tentram.”
Untungnya, menurut pandangan Festus, masyarakat Papa sudah cukup dewasa dalam menghadapi perbedaan yang ada. Dukungan terhadap salah satu calon muncul tidak berlebihan. Seluruh pihak juga diharapkan belajar dari pelaksanaan Pilkada di Papua di masa lalu, yang secara umum berjalan cukup baik. Meskipun, Festus mengakui selalu ada peristiwa-peristiwa yang mengganggu.
Salah satu isu penting bagi Papua ke depan, adalah sektor keamanan. Pendekatan keamanan yang selama ini diambil dinilai justru tidak berdampak positif. Festus memberi contoh, aksi demonstrasi mahasiswa Papua seharusnya tidak dianggap sebagai gangguan keamanan. Aksi semacam itu dijamin kebebasannya oleh undang-undang.
Isu lain yang penting adalah soal otonomi daerah. Pemerintah pusat memang telah memberikan status khusus, berupa otonomi bagi Papa.
“Hanya kalau kami melihat ini lebih kepada bentuk formalitas. Karena intinya bahwa lebih kepada jika benar pemerintah memberikan otonomi khusus kepada pemerintah daerah maka berikanlah kepercayaan kepada pemerintah daerah untuk mengurus semua. Jangan semua aturan atau perintah itu datang dari atas, sehingga pemerintah daerah itu hanya sebagia boneka yang hanya mengikuti apa yang diperintahkan,” tegas Festus.
Karena itulah, LBH Papua menuntut gubernur dan wakil gubernur yang terpilih, bukanlah boneka dari Jakarta, tetapi pemimpin yang diharapkan mampu menghadirkan kenyamanan dan ketentraman di Papua.
“Kami dari LBH Papua berharap setelah PSU dan akhirnya muncul pimpinan yang terpilih, harapannya kita berdemokrasi yang baik. Jangan sampai ada salah satu pihak yang kalah yang muncul hal-hal yang tidak baik. Kita harus berbesar hati untuk menerima siapapun yang terpilih,” tambah Festus lagi.
=============
Nurhadi Sucahyo