Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebut, potensi listrik dari panas bumi di Flores mencapai 902 megawatt tersebar di 16 lokasi.
Salah satu titik itu berlokasi di desa Atakore, kecamatan Atadei, kabupaten Lembata, NTT. Salah satu tokoh masyarakat setempat, Nikodemus N Lejap mengatakan, salah satu dasar penolakan terhadap pembangunan PLTP adalah karena lokasi dimana panas bumi itu berada, merupakan tempat sakral secara adat. Setiap tahun, masyarakat menggelar upacara adat di tempat itu.
Selain itu, menurut Nikodemus, dalam pertemuan dengan masyarakat, pihak PLN dan pemerintah tidak memberikan penjelasan lengkap terkait proyek PLTP. Hanya sisi manfaatnya yang banyak disinggung, tetapi sisi risikonya yang mungkin muncul, tidak dijabarkan dengan jelas. Karena itu, masyarakat justru dibebani dengan pertanyaan terkait dampak buruk PLTP yang tidak terjawab sampai saat ini.
Lokasi panas bumi yang disakralkan masyarakat disebut sebagai Dapur Alam. Sementara proyek pembangunan PLTP, menurut Nikodemus, hanya berjarak sekitar 200 meter dari lokasi itu.
Dapur Alam, tambah dia, sejak berabad-abad lalu telah menjadi lokasi upacara adat bagi warga sekitar. Selain itu, di tempat ini pula terdapat sejumlah titik panas yang keluar dari tanah, dan digunakan oleh masyarakat.
Nikodemus merinci, Dapur Alam menjadi tempat upacara ritual kampung adat, di mana setahun sekali mereka menggelar upacara bakar jagung muda. Sebelum dilakukan di kampung-kampung, para tetua adat memulai rangkaian acara dengan menggelar upacara di Dapur Alam ini.
Selain itu, panas bumi yang dihasilkan sejak lama telah dimanfaatkan masyarakat. Lubang-lubang dari dalam tanah yang mengeluarkan asap panas itu digunakan untuk memanggang kopra atau kelapa kering, ubi kayu, kacang-kacangan hingga kelapa.
Masyarakat khawatir, PLTP akan membuat mereka tidak bisa menggelar ritual adat maupun memanfaatkan panas bumi untuk keperluan sehari-hari.
Saat ini saja, pemerintah telah menutup kawasan tersebut dan mendirikan tiang-tiang pembatas wilayah yang menyulitkan masyarakat mengakses lokasi tersebut. Nikodemus mengatakan, masyarakat tidak bisa lagi masuk ke kawasan yang memiliki energi panas bumi itu.
Nikodemus khawatir, bahwa pihak-pihak yang terlibat proyek tersebut dan berpendidikan tinggi, tidak bisa memahami pentingnya lokasi tersebut secara adat bagi mereka.
PLN sendiri mulai masuk ke wilayah Lembata ini sekitar tahun 2017, dengan melakukan pengeboran di titik panas bumi yang telah ada. Namun setelah itu, tidak ada aktivitas apapun di lokasi tersebut hingga 2024 lalu, ketika proyek pembangunan PLTP dimulai kembali. Warga merasa tida dilibatkan dalam proses tersebut, sehingga mulai muncul penolakan.

Ulumbu geothermal plant in Poco Leok, Manggarai, East Nusa Tenggara (NTT). Credit: Supplied/Doc. PLN
Melihat dampak buruk semburan lumpur panas itu, masyarakat di berbagai wilayah di NTT akhirnya menolak pembangunan PLTP di daerah mereka.
Suasana di wilayah-wilayah pusat panas bumi ini semakin memanas dalam beberapa pekan terakhir. Seorang aktivis penolak PLTP bahkan ditemukan meninggal dunia, dengan dugaan ada unsur kriminalitas yang menyebabkan kematian itu. Nikodemus menyebut, 95 persen warga kompak untuk menolak PLTP di berbagai titik.