Di balik pekerjaan ini ada potensi persoalan yang cukup besar bagi keluarga pekerja migran yang ada di tanah air.
Ada penelitian menarik dari Prof Doktor Sukamdi, peneliti senior di Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan, Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakara, tentang bagaimana dampak negatif dari pekerja migran, terhadap keluarga mereka terutama anak-anak mereka, yang tinggal di kampung halaman.
Sayangnya karena faktor pendidikan, mayoritas dari pekerja Indonesia yang bekerja di luar negeri, bekerja di sektor non-formal, terutama sebagai asisten rumah tangga.
Karena situasi inilah, keluarga migran di tanah air berpotensi menghadapi persoalan besar, bahkan hingga perpecahan keluarga atau perceraian. Banyak kasus dimana, pasangan pekerja migran, terutama suami yang ada di tanah air, menyalahgunakan uang hasil bekerja istri.
“Ini kasus tidak berlaku umum, tetapi ada kasus yang sebetulnya juga tidak hanya satu keluarga, tapi cukup banyak. Ketika yang ke luar negeri, atau PMI-nya itu adalah perempuan, mereka mengirim uang ke rumah, yang menerima adalah suaminya, maka ada kecenderungan kemudian suaminya menikah lagi,” kata Prof. Dr. Sukamdi, peneliti senior di Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK), Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.

Salinas, California, USA - September 17, 2015: Crop harvest by agricultural workers who spend hours bent over in the sun manually picking produce for grocers. Credit: ChuckSchugPhotography/Getty Images
Indonesia diwakili oleh empat kabupaten, dua di Jawa Barat dan dua di Jawa Timur.
Proyek penelitian ini berjudul CHAMPSEA, Children Health and Migran Parents In South East Asia. Selain di Indonesia, penelitian yang sama juga dilakukan di Filipina, Thailand dan Vietnam.
Penelitian dimulai pada 2008, dilanjutkan pada 2016, dan kembali diulang pada 2023 untuk mencata tren yang berkembang.

Credit: dok UGM
Persoalan lain yang dihadapi para pekerja migran adalah marital disruption atau gangguan dalam pernikahan mereka. Penelitian yang dilakukan di empat kabupaten, yaitu Ponorogo dan Tulungagung di Jawa Timur, serta Sukabumi dan Tasikmalaya di Jawa Barat memberikan hasil yang konsisten.
Di Indonesia sekarang masih lebih banyak perempuan yang pergi. Itu yang kita kenal dengan feminisasi migran. Migrasi Indonesia itu, karena semakin banyaknya perempuan dan mengapa perempuan salah satunya karena kesempatan kerja di luar negeri itu yang di sektor domestik yang banyak, khususnya yang di Malaysia, Hong Kong, Taiwan.
Secara bentuk, ada perbedaan persoalan yang ditemukan dalam penelitian ini, di negara yang berbeda, meski setiap negara mengalami dampak buruk migrai bagi anak-anak dan marital disruption. Sebagai contoh, pada penelitian pertama tahun 2008 ditemukan data bahwa kira-kira 10 persen anak pekerja migran mulai merokok pada usia sangat awal, 6 sampai 12 tahun. Tetapi di Vietnam, data yang ditemukan bukan soal rokok, tetapi konsumsi minuman keras pada anak-anak pekerja migran.
Sukamdi menegaskan, para PMI tahu dan sadar akan risiko dan telah ada upaya untuk memperkecil risiko itu. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa persoalan ini sulit diatasi. Bahkan setelah tim peneliti menggelar berbagai diskusi dengan pemerintah daerah sumber PMI seperti Ponorogo maupun Tulungagung.
Dengan teknologi komunikasi yang sudah sangat baik seperti saat ini, PMI mencoba lebih sering atau mengintensifkan komunikasi dengan keluarga, termasuk dengan pasangan yang ditinggal.
Karena itulah, Sukamdi menggarisbawahi bahwa masalah perlindungan PMI tidak terbatas pada perlindungan terhadap migrannya saja, tetapi perlindungan juga terhadap keluarga mereka. Dia meminta, harus ada satu kebijakan atau program pemerintah yang ikut membantu agar pekerja migran tidak menghadapi masalah tersebut.

Father with daughters looking through window at home waiting for the mother to come home Credit: Maskot/Getty Images/Maskot
Rekomendasi kedua terkait remitensi, para peneliti mengusulkan adanya literasi manajemen keuangan mikro.
Sedangkan marital disruption diakui Sukamdi merupakan persoalan yang paling berat untuk dicarikan jalan keluar. Dia menyebut, beberapa cara sudah ditempuh, seperti pemerintah kabupaten Ponorogo, Jawa Timur yang memberikan syarat kepada warganya yang hendak menjadi PMI di luar negeri, untuk berkomitmen menjaga keutuhan keluarga.
“Tetapi saya juga belum tahu seberapa efektif program itu, karena memang kita sendiri agak kesulitan untuk mencari satu solusi yang pas, yang kemudian efektif, agak susah karena dimensinya sangat-sangat kompleks,” jelas Sukamdi.
———————
Nurhadi Sucahyo melaporkan untuk SBS Indonesian.