Reaksi Terhadap Gelar Pahlawan untuk mantan Presiden Soeharto

gelar

Tutut Represents Soeharto's Family in Accepting the Title of National Hero from President Prabowo Credit: Sekretariat Negara RI

Pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto lantas memicu kritik dan penolakan publik.


Reaksi terhadap pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto beragam. Penolakan keras datang dari kalangan aktivis, akademisi, serta beberapa partai politik yang menilai rekam jejak Soeharto dipenuhi pelanggaran HAM dan praktik otoritarianisme. Di sisi lain, ucapan selamat dan dukungan mengalir dari pihak keluarga, tokoh politik seperti Surya Paloh, serta pemerintah.

Salah satu akademisi yang menilai pemberian gelar tersebut tidak tepat adalah Slamet Thohari, dosen Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya, yang sejak awal 2022 melanjutkan studi doktoral di Western Sydney University, Australia, melalui beasiswa Australia Awards Scholarship.

Menurutnya, gelar tersebut tidak layak diberikan mengingat rekam jejak Soeharto yang buruk, khususnya terkait pelanggaran HAM berat dan berbagai kasus pelanggaran HAM lain selama masa pemerintahan otoriter Orde Baru yang hingga kini belum terselesaikan.

Slamet Thohari menyatakan bahwa seorang pahlawan seharusnya adalah sosok yang rela mengorbankan diri demi kepentingan banyak orang, bahkan jika harus merugi atau menderita. Namun, menurutnya, Soeharto justru lebih mengutamakan kepentingan pribadi, kroni, serta urusan bisnisnya.
Slamet Thohari
Slamet Thohari Ph.D. at Western Sydney University, focusing on rural women with disabilities. Worked on disability-related projects funded by The Asia Foundation, USAID, Ford Foundation, DFAT, and the British Council, Indonesian goverment.
Karena itu, ia menilai bahwa tindakan tersebut sama sekali tidak mencerminkan nilai-nilai kepahlawanan, sehingga keputusan pemerintah Indonesia saat ini dianggap sangat bertentangan dengan makna sejati seorang pahlawan.

Beberapa pelanggaran HAM yang disebutkan antara lain adalah:
  • Peristiwa 65 dan 66,
  • Penembak misterius, 1982-1985,
  • Invansi Timor-timur dimana banyak nyawa yang hilang akibat penjajahan itu, tahun 1975
  • Peristiwa Tanjung Priok, pembakaran warga sipil, dimana saat itu juga aksi protes umat islam yang dibubarkan dengan kekerasan dan ratusan orang tewas akibat protes itu.
  • Peristiwa Talang Fari di Lampung,
  • Pelanggaran rasisme, terhadap warga Tionghoa yang tidak boleh mengekspresikan kebudayaannya. Pada puncaknya adalah peristiwa Mei 98 yang mengakibatkan banyak warga yang berlatar belakang etnis Tionghoa Indonesia, melarikan diri dan menetap di luar negeri seperti Australia.
Menurut Slamet Thohari, pemberian gelar pahlawan itu mengandung makna adanya agenda tertentu yang bertujuan agar masyarakat Indonesia melupakan hal-hal penting dalam sejarah, atau menerima kesalahan-kesalahan yang seharusnya tidak bisa begitu saja dimaafkan maupun dihapuskan.

Menurutnya, kasus-kasus pelanggaran HAM harus diusut secara tuntas, dan apabila terbukti bahwa pemerintah terlibat dalam kesalahan tersebut, seharusnya ada permintaan maaf resmi.

Ia mencontohkan langkah serupa yang pernah dilakukan oleh Belanda, yang menyampaikan permintaan maaf kepada bangsa Indonesia. Setelah itu, pemerintah Belanda juga memberikan edukasi dan literasi kepada masyarakatnya agar peristiwa serupa tidak terulang kembali.

Dengarkan SBS Indonesian setiap hari Senin, Rabu, Jumat, dan Minggu jam 3 sore. Ikuti kami di Facebook dan Instagram, serta jangan lewatkan podcast kami.

Share
Follow SBS Indonesian

Download our apps
SBS Audio
SBS On Demand

Listen to our podcasts
Independent news and stories connecting you to life in Australia and Indonesian-speaking Australians.
Ease into the English language and Australian culture. We make learning English convenient, fun and practical.
Get the latest with our exclusive in-language podcasts on your favourite podcast apps.

Watch on SBS
SBS Indonesian News

SBS Indonesian News

Watch it onDemand