Ini adalah peristiwa luar biasa. Banyak orang tidak bisa membayangkan, kota seperti Denpasar dilanda banjir begitu besar. Dugaan awal, pembangunan kota yang masif, sebagai dampak dari pengembangan sektor pariwisata memiliki peran dominan.
Hal itu diakui oleh pengamat sekaligus dosen pariwisata di Universitas Warmadewa, Denpasar, Dr I Made Suniastha Amerta.
Suniastha mengatakan, pada Kamis hujan sudah berhenti dan upaya pembersihan dilakukan. Masyarakat meyakini peristiwa ini sebagai bencana yang tidak diprediksi sebelumnya.
Indonesia sedang berada di tengah musim kemarau, secara umum. Karena itu, hujan yang datang kali ini sangat mengagetkan. Dalam satu pekan terakhir, Bali mengalami beberapa kali hujan kecil, tetapi menurut Suniastha, intensitasnya meningkat drastis pada Selasa, dan mengakibatkan banjir besar pada Rabu.
Karena tidak ada peringatan apapun, baik dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) maupun pemerintah daerah, dia menceritakan bahwa hujan yang terus turun ditanggapi dengan santai oleh warga Denpasar. Tidak ada prediksi apapun yang memperkirakan bahwa hujan akan turun begitu deras sehingga menenggelamkan berbagai titik di kota tersebut.
Suniastha menceritakan, banjir merendam berbagai titik yang sebenarnya bukan pusat-pusat destinasi wisata. Banjir di Denpasar, Badung dan Gianyar tersebut tidak merusak pusat turis seperti Kuta, Canggu atau Sanur. Tetapi lumpuhnya jalan menyebabkan terganggunya akses ke pusat layanan wisata seperti bandara. Termasuk jalan-jalan menuju ke pusat wisata itu sendiri, yang tenggelam cukup parah dan nyaris tidak dapat diakses.
Di media sosial foto-foto wisatawan asing yang diselamatkan dari banjir tersebar luas. Hal ini bisa berdampak pada kunjungan wisatawan ke depan.
Sampai hari Kamis (11/9), data resmi pemerintah menyebutkan ada 14 orang meninggal dan 2 orang masih dalam pencarian. Banjir melanda di 43 titik, dan upaya penanganan terus dilakukan. Penilaian awal menyebut, selain faktor hujan intensitas tinggi, persolan sampah, buruknya saluran air dan pembangunan yang masif di Denpasar, menjadi faktor terjadinya banjir.

Pengamat dan dosen pariwisata di Universitas Warmadewa, Denpasar, Dr. I Made Suniastha Amerta.
Suniastha menilai, banjir ini seharusnya menjadi momen evaluasi bagi semua pihak terkait rencana pengembangan pariwisata di Bali di masa mendatang. Dia menyebut, ada falsafah Tri Hita Karana di masyarakat Bali yang seharusnya dipegang teguh.
Tri Hita Karana adalah filosofi atau falsafah hidup tradisional Hindu Bali yang bermakna “tiga sumber kebahagiaan”, yang diwujudkan melalui hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan (Parahyangan), manusia dengan sesamanya (Pawongan), dan manusia dengan alam lingkungan (Palemahan).
Banjir membuktikan bahwa kondisi Bali tidak baik-baik saja, kata Suniastha.
Dia mengaku menerima telpon dari koleganya di Filipina, yang akan mengikuti konferensi di Bali. Ini menjadi contoh bagaimana bencana banjir mempengaruhi persepsi masyarakat luar terhadap situasi yang terjadi di pulau Dewata itu. Bisa jadi, mereka yang berencana datang untuk berwisata ke Bali membatalkan rencananya, lanjut Suniastha.
Evaluasi menjadi lebih penting karena Bali menghadapi high season dalam beberapa bulan ke depan, di mana kunjungan wisatawan biasanya akan mengalami lonjakan di akhir tahun.
Salah satu evaluasi yang penting adalah menegaskan kembali arah pariwisata Bali ke depan. Apakah Bali akan dibiarkan menerapkan tren mass tourim atau wisata massal yang membebani lingkungan, ataukah akan fokus pada kualitas. Suniastha mendorong pilihannya adalah pada peningkatan kualitas, sehingga yang diterapkan adalah pariwisata berkelanjutan. Wisata massal sudah terbukti membawa dampak negatif di Bali, misalnya kemacetan, masalah sosial, dan perilaku wisatawan yang justru merugikan sektor pariwisata itu sendiri.
Denpasar dan Badung secara umum telah mengalami overtourism, kata Suniastha. Kondisinya sudah sangat sulit untuk dikontrol, dan dampak negatifnya bagi lingkungan begitu berat.
Bali harus mengubah strategi pariwisatanya, kata dia. Termasuk mengembangkan destinasi di kawasan utara pulau tersebut, yang selama ini masih diabaikan. Bali utara harus berkembang untuk mengurangi beban Bali selatan saat ini. Pemerintah, masyarakat dan investor harus bergerak bersama untuk menerapkan strategi ini. Rencana pembangunan bandara baru di Singaraja, Buleleng, menurut Suniastha akan menjadi pendorong signifikan bagi pengembangan Bali sisi utara.
Pengembangan pariwisata, kata Suniastha tidak boleh kontradiktif dengan kepentingan lingkungan. Justru pengembangan pariwisata harus mengusung tema-tema konservasi. Eksploitasi akibat mass tourism harus dihentikan, dan penataan Bali utara harus menjadi prioritas.