Inspirasi: Perjalanan Peter Susanto Jadi Pelajar Kedokteran Termuda dan UNICEF Young Ambassador

Peter Susanto.jpg

19-year-old Peter Susanto became the youngest postgraduate medical student at his university and UNICEF Young Ambassador for the Northern Territory. Credit: Supplied/Peter Susanto

Peter Susanto, mahasiswa S2 Kedokteran termuda di kampusnya dan UNICEF Young Ambassador untuk Northern Territory, meraih banyak prestasi. Bagaimana Peter bisa sampai di titik ini dan bagaimana pengalamannya menjadi korban perundungan karena usia mudanya?


Di tengah kesibukan sebagai mahasiswa S2 Kedokteran, Peter Susanto tetap menyempatkan waktu untuk hal-hal yang ia sukai––bermain piano, menonton YouTube, mendukung tim bulutangkis Indonesia, dan membaca novel. Namun, perjalanan hidupnya jauh dari biasa.

Di usia 17 tahun, Peter menerima penghargaan Northern Territory Young Australian of the Year 2024. Pemuda berdarah Indonesia ini lulus SMA di usia 14 tahun setelah melompat tiga tingkat kelas, kemudian memulai kuliah kedokteran di usia 15 tahun. Kini di usia 19 tahun, ia telah menyelesaikan Bachelor of Clinical Sciences dengan IPK sempurna (7 dari 7) dan sedang menempuh pendidikan S2 kedokteran di Charles Darwin University.

Di luar kelas, Peter juga meraih juara untuk National Australian Brain Bee Challenge 2019–sebuah kompetisi neuroscience–dengan dirinya menjadi pemenang pertama dari NT, dan medali perunggu di International Brain Bee Olympiad 2021––medali pertama untuk Australia sejak 2015.
Pengabdian masyarakat juga menjadi bagian penting dalam hidup Peter. Sejak 2015, ia dan adiknya menggalang dana untuk berbagai badan amal melalui penjualan makanan Indonesia. Kini, ia menjabat sebagai UNICEF Young Ambassador untuk Northern Territory.

Di balik setiap keputusan dalam perjalanan akademiknya, kata Peter, ada orang tua yang mengadvokasi akselerasi pendidikannya, mendukungnya sepanjang masa belajarnya, dan memprioritaskan kesejahteraannya.

SBS Indonesian berbincang dengan Peter Susanto tentang bagaimana ia meraih seluruh pencapaiannya, tantangan perundungan yang pernah dihadapinya sewaktu masih SD sebagai siswa termuda, peran keluarga dalam kesuksesannya, dan rencana masa depannya untuk berkontribusi bagi Indonesia dan Australia.

Dengarkan podcast ini selengkapnya.
Dengarkan SBS Indonesian setiap hari Senin, Rabu, Jumat, dan Minggu jam 3 sore.
Ikuti kami di Facebook dan Instagram, serta jangan lewatkan podcast kami.

Ketika masih berusia tujuh belas tahun, Peter Susanto, pemuda berdarah Indonesia

yang tinggal di Darwin mendapatkan penghargaan Northern Territory Young

Australian of the Year. Kini, di usia sembilan belas tahun, Peter sedang

menempuh pendidikan S2 Kedokteran dan menjadi salah satu UNICEF Young Ambassador

untuk Australia. Bagaimana Peter bisa sampai di titik ini di usia yang masih

sangat muda? Apa tantangan terbesar yang pernah dihadapi sebagai siswa termuda di

kelas? Bagaimana Peter menghabiskan waktu luang dan apa rencananya ke depan? Berikut

perbincangan saya dengan Peter Susanto. Halo Peter, apa kabar?

-Ya, baik. Gimana kabarnya? -Baik juga. Peter bisa nggak nih ceritakan

bagaimana kamu bisa mendapatkan penghargaan Northern Territory Young

Australian of the Year 2024? Dan waktu mendapatkan penghargaan itu, umurmu berapa

-ya? -Waktu mendapat penghargaannya, saya masih

umur... Berapa ya itu? Baru umur tujuh belas. Kenapa saya dapat penghargaan ini?

Sebenarnya saya

masih kurang tahu juga sih. Karena menurut saya, saya sebenarnya hanya

lakukan yang seharusnya saya lakukan. Maksudnya itu tiap weekend saya dan adik

saya, Eva, sejak tahun 2015 menjual makanan dan cemilan Indonesia

yang kami buat sama emak kita, sama nenek kita dan menjual makanan ini untuk

menggalang uang untuk badan amal kayak charity gitu. Jadi tiap tahun pilih

charity yang beda. Misalnya tahun ini lagi menggalang uang untuk Melanoma Institute

Australia untuk research soal kanker kulit, yang kemarin untuk Cancer Council

dan dulu juga pernah di Indonesia untuk

Salvation Army, untuk panti asuhan mereka.

Baik, jadi itu karena Peter berpartisipasi untuk menggalang dana juga ya. Tapi

selain itu juga Peter banyak juga ikut kompetisi ini. Mungkin juga jadi bahan

-pertimbangan mereka. -Iya kayaknya. Tahun dua ribu-- apa itu,

tahun 2019 saya menjadi pemenang pertama untuk National Australian Brain Bee

Challenge dan itu kompetisi Neuroscience. Saya jadi pemenang pertama dari NTI, dari

Northern Territory. Karena itu saya ini dapat kesempatan untuk mewakili Australia

di Olimpiade International Brain Bee Olympiad dan itu [tertawa] seharusnya

tahun berikutnya 2020, tapi karena ada pandemi Corona virus

[tertawa], saya malah 2021 baru ikut pertandingannya karena ditunda setahun.

Dan itu waktu saya ada ujian, ujian SMA tiga, udah mau lulus SMA, ehm,

[tertawa] tapi saya tetap belajar untuk kompetisi ini dan juga belajar untuk ujian

saya, untuk kelas dua belas saya. Jadi agak sulit sih, tapi tetap saja saya dapat

medali perunggu dan itu medali pertama untuk Australia sejak tahun 2015.

Aduh, Peter, saya speechless. Itu bagus sekali, luar biasa itu. Nanti

dulu nih, kamu waktu itu 2021 akan lulus SMA begitu ya? Berarti usia

-Peter sekarang berapa ya? -Sekarang saya baru saja umur sembilan

belas. Waktu itu saya lulusnya umur-- lulus SMA itu umur empat belas, terus

-mulai kuliah waktu umur lima belas. -Dan Peter boleh diceritakan, ee, Anda

kuliahnya di mana nih?

-Jurusan apa? -Kuliahnya masih di Darwin, tetap di

Darwin. Karena sebenarnya waktu saya lulus kan umur empat belas, terus waktu mau

mulai kuliah umur lima belas. Jadi karena itu kayaknya gara-- mungkin gara-gara

asuransi atau nggak tahu faktor apa. Tapi banyak universitas bilang bahwa kalau saya

mau kuliah di universitas mereka harus ada paling enggak satu atau dua orang

tuanya. Dan ya kan agak, agak kasihan saya nggak mau kasih beban untuk Mama sama

Papa. Jadi saya pilih untuk tetap di Darwin dan selain itu saya kan juga memang

orang besarnya di Darwin, udah asli Darwin. Jadi kayaknya lebih nyaman juga di

Darwin. Bisa sama keluarga, bisa jaga nenek.

-Nanti dulu. Ini jurusan apa tapinya? -Saya lagi belajar ini, Kedokteran.

-Wah! -Di-- ya di Darwin.

Ini kok bisa ya? Peter sudah diterima sebagai mahasiswa kedokteran di usia

semuda itu. Itu prosesnya gimana? Apakah ada persyaratan khusus atau ada interview

-khusus atau bagaimana? -Enggak ada interview khusus, tapi memang

[tertawa] kayaknya harus suruh Mama sama Papa tanda tangani semua dokumentasinya.

Kan biasanya orang waktu lulus SMA atau mau mulai kuliah udah umur delapan belas

ke atas, jadi mereka bisa tanda tangani sendiri. Tapi waktu itu semua mama sama

papa yang disuruh terus ada beberapa dokumentasi-dokumentasi yang khusus juga

untuk saya karena belum, belum dewasa belum sampai umur delapan belas [tertawa].

Ee, misalnya tahun kemarin kan dan tahun sebelumnya, ee, waktu udah mulai MD jadi

itu sesudah undergraduate-nya udah mulai MD, kita kan harus buka kayak jenazah gitu

atau tubuhnya orang yang telah meninggal dunia. Jadi untuk itu orang-orang lain

mereka tinggal tanda tangani kayak waver gitu. Tapi untuk saya ada beberapa

dokumentasi tambahan karena belum umur delapan belas.

Sebentar, berarti kamu sekarang itu bukannya S1 tapi S2 begitu?

Iya S2, saya udah lulus S1nya, Bachelor of Clinical Sciences dan dapat nilai yang

sempurna juga. Jadi GPAnya tujuh dari tujuh. Dapat medali universitas juga baru-

-[laughing] -[suara bising]

-Mai ada acara wisuda nih. -Oh, wow! Berarti Peter mahasiswa termuda,

-begitu, di kelas? -Oh, iya, ya. Tentu saja [tertawa]

mahasiswa termuda. Kayaknya yang sudah saya nomor dua kayaknya udah umur dua

puluh-- dua puluh satu kayaknya. Jadi beda dua atau dua setengah tahun.

Jadi ini kok bisa ya dipercepat begitu lulus SMA-nya itu keputusan untuk

akselerasi itu dari mana? Dari Peter sendiri, atau dari sekolah, atau dari

orang tua, atau bagaimana sih boleh ceritakan?

Dari awal idenya dari mama sama papa sih. Tapi itu karena mereka lihat bahwa

saya waktu-- [berhenti sebentar] waktu kecil itu waktu masih SD nilainya kan udah

di atas anak-anak lain, siswa-siswi lain. Dan saya juga kata mereka saya juga

kelihatan agak kayak kurang tertarik gitu atau mungkin [tertawa] sudah bosan juga

sama, em, pelajarannya karena udah tahu dan cepat belajar kan. Jadi mama, dia

ambil kayak post graduate lagi untuk gifted education. Dan mama ini sesudah itu

kerjakan kayak advokasi gitu supaya saya bisa lompat kelas. Terus sesudah lompat

kelas sekali, sebenarnya sekolahnya bilang udah, mereka gak akan izinkan saya lompat

kelas lagi. Tapi mama sama papa tetap, ee, berjuang dan bilang sebenarnya yang

kan sebagai orang tua, mereka yang tahu apa yang paling baik untuk anaknya dan

saya waktu itu juga setuju mau kalau memang pantas saya mau lompat kelas juga

lagi. Jadi mereka tetap berjuang terus akhirnya sekolahnya izinkan juga. Terus

-akhirnya saya lompat tiga tahun. -Kok bisa ya? Emang kamu belajar study hard

atau disiplin atau bagaimana ya? Atau emang-emang suka belajar begitu?

Yaaa, saya suka belajar tapi kayaknya minat saya nih kepada belajar itu belum

tentu sesuatu yang dari lahir gitu. Kan semua ada apa itu, debatnya soal nature

versus nurture. Kayaknya ya mungkin ada nature dan mungkin saya memang agak

beruntung mungkin otaknya memang-- otaknya bagus dan IQ-nya ting-- memang lumayan

tinggi. Tapi kayaknya lebih penting itu pelajaran dari dari kecil, dari mama sama

papa, sama nenek juga, sama mak juga. Karena mereka ajarin cara apa, apa

istilahnya untuk kayak jadi orang gitu kan. Jadi orang baik dan mereka juga

memprioritaskan pendidikan. Orang-orang lain terutama di Australia kan mereka

mungkin lebih mentingkan kayak olahraga atau yang ekstra kurikuler

gitu. Tapi mama sama papa, mereka kan dari Indonesia, jadi mereka tahu tanpa

pendidikan mereka gak akan datang ke Australia terus kasih kami semua hidup

yang sangat-sangat beruntung dan sangat indah seperti ini sekarang.

Dan itu waktu kecil berarti sekarang sih lebih kamu sendiri yang push yourself,

-gitu ya? -Iya, tapi tetap kan selalu ada dukungan m

ama sama papa, sama nenek juga. Maksudnya ada dukungan keluarga itu juga sangat

penting buat saya. Terutama kadang-kadang kayak baru ini, ee, di Darwin ini baru ada

cyclone kita. Dan waktu itu, ini [tertawa] kayaknya kapan, tiga jam lagi,

gak sampai dua, dua setengah jam lagi saya udah ujian. Mama sama papa yang-- mereka

yang bantu saya, mereka ambil tanggung jawab untuk bersih-bersih rumah dan

siap-siap untuk cyclone. Saya bantu juga, tapi mereka kasih saya lebih banyak waktu

untuk belajar. Biar [tertawa] nilai ujiannya semoga bisa yang baik.

Ini ada enggak sih momen, aduh capek ah belajar gitu. Ada nggak pernah nggak

-merasa begitu? -[sighing] Ya pasti [tertawa]. Kayaknya

mungkin cuman anak-anak super doang yang bisa belajar terus berjam-jam tanpa bosan

atau capek. Tapi kayaknya saya ada

buat cara yang baik untuk rileks dan untuk istirahat waktu saya capek. Misalnya main

piano atau baca buku atau ya kadang-kadang nonton juga kayak YouTube

atau TV. Itu kan seperti anak biasa, tapi kayaknya yang buat saya agak beda mungkin,

itu saya bisa lebih cepat kembali fokusnya dan saya juga lebih-- mungkin

lebih banyak motivasinya juga. Karena saya tahu kalau belajar yang baik bisa dapat

nilai yang baik dan itu juga buka lebih banyak kesempatan untuk saya. Udah ada

pengalaman itu. Jadi saya sekarang udah dapat penghargaan ini dan jadi UNICEF

Young Ambassador untuk apa namanya dana-- dana anak-anak PBB. Sebagai UNICEF

Ambassador itu, saya juga mau coba bantu, gimana ya, menginspirasi anak-anak lain

untuk tetap kerja keras dan belajar yang baik juga. Jangan-jangan hanya main HP

terus atau pakai medsos. Jadi itu mewakili UNICEF dan mewakili NT juga, ee,

untuk menjadi, gimana ya, kayak advocate, tapi juga kayak orang

yang bisa berkomunikasi antara anak-anak dan dana anak-anak PBB Australia. Jadi

UNICEF itu, kan orang-orang kerja dengan UNICEF banyak yang udah-udah dewasa atau

mungkin mulai tua juga. Ee, jadi mereka butuh suaranya dan perspektifnya

-orang-orang muda dalam kerjaan mereka. -Peter apply atau bagaimana?

Ee, iya itu saya apply terus kepilih. Hanya di seluruh Australia hanya sebelas

orang yang pilih dan saya satu-satunya dari NT.

Kalau dari akademi kan berarti kamu sudah pasti dengan teman-teman yang lebih tua.

Ini ada challengenya tidak? Apa dalam bersosialisasinya kah, atau dalam

akademinya kah, atau bagaimana?

Ada sih, misalnya waktu saya pertama lompat kelas-- ee, masuk kelas lima, jadi

itu udah lompat dua tahun. Ee, saya masih inget sih, masih terkesan karena awalnya

anak-anak itu lumayan baik sama saya, pikirnya saya murid baru gitu. Tapi waktu

saya kasih undangan untuk ulang tahun saya waktu itu umur sepuluh, mereka baru tahu

bahwa saya nya dua tahun lebih muda daripada mereka. Dan mereka kan juga udah

puberty, jadi mereka udah lebih besar dan lebih kuat juga. Anak-anak itu malah mulai

bully saya dan bully-nya lumayan parah sampai tiap hari saya nggak mau ke sekolah

dan nangis terus. Dan iya malah ... malah gak tertarik lagi dengan belajar,

hanya ... hanya mau

kembali lagi ke kelas tiga dengan anak-anak lain yang seumuran. Tetapi mama

sama papa, mereka tetap mendukung saya dan tetap bukan-- bukan, tetap mendorong

saya, kayak encourage saya gitu untuk harus resilient dan pantang menyerah.

Terus mereka cari cara untuk membantu saya. Jadi itu mereka advocate lagi ke

sekolah untuk saya lompat satu kelas lagi. Dan itu kan tidak mungkin di luar pikiran

orang, karena pikirnya anak kalau di-bully harusnya turun kelas lagi. Tapi

mereka, mama terutama, malah advocate untuk saya lompat kelas lagi. Tapi itu

ternyata menjadi hal yang paling baik untuk saya. Karena saya lompat kelas

akhirnya, masuk kelas tujuh dan anak-anak sana di kelas tujuh itu mereka jauh lebih

dewasa, lebih baik dan mereka juga lebih-- gimana itu, mereka lebih tertarik juga

sama belajar. Jadi saya gak di-bully lagi. Terus ada banyak teman juga dan temannya

yang suka yang cocok gitu, suka belajar. Ee, jadi untuk itu saya selalu berterima

-kasih sekali untuk mama sama papa. -Wah, ini mama dan papanya juga pintar juga

strateginya. Saya enggak akan kepikiran seperti itu. Dan kalau itu kan dulu nih,

kalau sekarang Peter lebih seringnya mainnya sama siapa nih? Hangout-nya sama

siapa? Teman-teman yang satu kuliah kah atau justru yang seumuran?

Sekarang sih waktunya kan biasanya di-spend sama temen-temen kuliah yang tiga

tahun atau sekarang-sekarang pun ada yang-- ada temen sekolah yang umur

[menghela nafas] hampir lima puluh, jadi hampir seumuran sama papa saya. Kayaknya

lebih tua daripada papa saya karena kan udah masuk itu S2, post graduate, jadi ada

yang udah pernah kerja, terus mereka kembali lagi kuliah. Dan sekarang

temen-temen saya memang banyak yang udah bisa nyupir, udah bisa kayak minum gitu.

Jadi kadang-kadang mereka undang saya, terus saya kan baru sembilan belas waktu

itu. Waktu mulai S2 ini saya masih umur tujuh belas. Jadi [tertawa] dulu kayak, oh

maaf ya nggak bisa ikut, nggak bisa ikut ke pub, nggak bisa ikut ke bar. Saya belum

bisa nyupir gitu. Sekarang masih, apa, licence B SIM-nya, mereka udah full

licence. Jadi memang ada perbedaan itu, tapi pertama saya memang rencananya tidak

mau minum alkohol karena memang menurut saya harus jadi kayak contoh baik untuk

pasien-pasien dan memang lebih sehat juga. Dan selain itu, sekarang me-mereka juga

ini, mereka happy untuk bawa saya kemana-mana, kalau enggak, mama sama papa

bisa antar saya juga kalau ada kayak acara atau orang-orang mau hangout gitu.

Tapi berarti sekarang social life ya justru malah semakin gampang karena

teman-teman juga sudah bukan, ya, sudah bukan muda lagi kan, ya? Nah, ini kan dari

tadi Peter sebut kalau Peter dari Indonesia, begitu ya? Apa Peter lahir di

Northern Territory atau lahir di Indonesia? Gimana, nih, background

-keluarganya? Boleh ceritakan? -Sebenarnya saya gak lahir di NT, juga gak

lahir di Indonesia. Sebenarnya saya lahirnya di Adelaide, karena Mama sama

Papa, ee, dari Indonesia, mereka pertama kuliah di Adelaide. Jadi saya lahir di

sana. Tapi waktu umur empat pindah ke Darwin. Jadi sebenarnya besarnya udah di

Darwin dan saya merasa saya udah jadi orang lokal Darwin sih.

Baik, dan berarti orang tua kamu dari mana di Indonesianya?

Kayaknya kedenger ya dari logat saya, tapi mama papa orang Jawa, wong Jowo. Mama

lahirnya di Surabaya sih, tapi keluarganya... tahu Jajag, Tante? Jajag

itu salah satu desa kecil dekat Banyuwangi. Terus Papa orang Solo.

Dan ini kok bisa fasih sekali bahasa Indonesianya?

[tertawa] Bahasa Indonesianya kurang lancar juga sih. Karena [tertawa] kan

lahir besar di Australia. Terus paling mungkin setahun sekali, kadang-kadang

enggak sampai setahun sekali, dua tahun sekali gitu, baru pulang Indonesia.

[tertawa] Jadi kayaknya sebenarnya kurang lancar dan seringkali juga bahasanya kayak

bahasa gado-gado. Jadi ada kayak--Hokkiennya, ada Mandarinnya, ada

bahasa eh Inggris juga, ada Jowonya juga. Tapi kayaknya saya bisa Bahasa Indonesia

itu karena mama sama papa lagi, sama nenek juga, kayak lama juga. Karena mereka

semua utamakan bahasa Indonesia dan selain itu kan nenek

datang ke Australinya waktu saya lahir jadi kurang lancar bahasa Inggris. Kalau

gak bisa bahasa Indonesia ya gak bisa bicara sama nenek, kan. Jadi

agak-agak terpaksa tapi waktu itu juga masa papa utamakan bahasa Indonesia dan

sekarang saya malah lebih tertarik lagi sama belajar bahasa Indonesia. Tiap hari

baca buku dalam bahasa Indonesia kayak novel gitu dan juga sering nonton -- saya

kan suka bulu tangkis [suara terkekeh], jadi sering nonton bulu tangkis dan tentu

saja dukung tim Indonesia Merah Putih dan sering nonton YouTube juga, YouTube dalam

-bahasa Indonesia. -Ini untuk ke depannya apakah Peter ingin

berkontribusi untuk Indonesia meskipun katakanlah tetap tinggal di Australia,

kalau iya dalam bentuk apa misalnya medical field atau gimana atau tadi sempat

-sebut UNICEF bagaimana itu? -Yang pasti saya mau membantu dan

berkontribusi ke Indonesia. Itu bentuknya gimana saya masih belum tau sih. Saya tau

kayaknya sekarang ID memperbolehkan orang-orang Australia atau yang lulus--

dokter-dokter yang lulus di luar negeri untuk kerja di Indonesia. Jadi mungkin

suatu hari sesudah jadi spesialis, mungkin saya bisa kerja di Indonesia atau kerja

untuk apa itu Doctors Without Borders, Medecins Sans Frontieres. Kalau enggak

mungkin sebagai UNICEF atau mewakili pemerintah Australia atau saya juga tahu

ada kayak Australia Indonesia Business Council gitu. Jadi mungkin-- mungkin saya

bisa ikut itu juga atau mulai buka bisnis juga di Indonesia suatu hari. Saya

sebenarnya ada ide atau kayak cita-cita mungkin suatu hari saya bisa bantu

orang-orang atau anak-anak Indonesia gitu yang mau belajar bahasa Inggris. Karena

kan memang, apa, pangsa pasarnya besar sekarang dan banyak orang yang mau belajar

bahasa Inggris, kayak sepupu-sepupu saya juga, tapi mereka bahasa Inggrisnya

amburadul karena gurunya semua orang Indonesia yang belum pernah ke Australia,

belum pernah ke Amerika gitu. Dan saya waktu SMA tiga itu kan saya, oh iya, saya

sebenarnya belajarnya di Haileybury, tau gak Tante? Itu kan sekolah VCE, Victorian

Curriculum. Jadi saya dapat itu nilai lima puluh, jadi perfect fifty untuk bahasa

Inggrisnya. Jadi saya juga lumayan kayak passionate soal bahasa Inggris.

Dan kalau Peter sendiri untuk secara pribadi kedepannya apa nih rencananya

-menyelesaikan S2 kah atau bagaimana? -Selesaikan S2, terus saya masih, hmm,

kayaknya masih mau lihat-lihat dulu, mau iseng-iseng dulu ada apa kesempatannya

karena dalam jurusan kedokteran kan ada banyak pilihan untuk mau jadi spesialis

apa. Dan biasanya orang mikirnya kayak dokter operasi kayak surgeon gitu atau

bisa jadi GP atau kayak cardiology gitu tapi ternyata ada banyak

jurusan spesialis lain yang saya dulu gak tau juga. Jadi sekarang saya tertarik

dengan kayak policy and governance dan juga apa, health advocacy, public health,

health system management. Karena menurut saya, saya kenal banyak dokter dan

orang-orang lain yang kerja di jurusan health yang mereka-mereka punya banyak ide

untuk cara membantu pasien. Tapi manajemennya yang malah bilang mungkin

enggak boleh atau enggak kasih mereka dana untuk lakukan hal-hal ini yang bisa

membantu pasien. Jadi menurut saya health management itu adalah jurusan yang sangat

penting dan sebetulnya kita semua butuh dokter-dokter untuk masuk posisi-posisi

yang eksekutif dan manajemen gitu. Biar bisa membantu dokter-dokter yang masih

kerja dengan pasien untuk kasih perawatan yang ... yang lebih baik lagi.

Pendengar, itu tadi perbincangan kami dengan Peter Susanto. Peter, terima kasih

-ya dan sukses selalu ke depannya. -Ya, terima kasih banyak.

END OF TRANSCRIPT

Share
Follow SBS Indonesian

Download our apps
SBS Audio
SBS On Demand

Listen to our podcasts
Independent news and stories connecting you to life in Australia and Indonesian-speaking Australians.
Ease into the English language and Australian culture. We make learning English convenient, fun and practical.
Get the latest with our exclusive in-language podcasts on your favourite podcast apps.

Watch on SBS
SBS Indonesian News

SBS Indonesian News

Watch it onDemand