Kekerasan Berdarah Jadi Buntut Perebutan Lahan di Sumatera Utara

AMAN (1).png

Kekerasan berdarah terjadi di Sumatera Utara, buntut dari perebutan lahan. Credit: Supplied/Courtesy of AMAN Tano Batak

Di balik keindahan kawasan Danau Toba di Sumatera Utara, ternyata terpendam bara konflik sejak beberapa dekade yang lalu. Kekerasan pecah pekan ini, antara pihak PT Toba Pulp Lestari (TPL) dengan Masyarakat Adat di Sihaporas, Kabupaten Simalungun. Perebutan lahan menjadi penyebabnya.


Jhontoni Tarihoran adalah Ketua Pelaksana Harian (PLH) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak. Dia aktif membela Masyarakat Adat dan menengahi konflik ini, agar menemukan jalan keluar yang adil dan berkesinambungan.

AMAN adalah organisasi nasional Masyarakat Adat di Indonesia, yang melakukan advokasi untuk hak-hak adat.

Jhontoni membenarkan, tragedi kekerasan ini terjadi di sekitar danau Toba yang terkenal, dan secara administratif desa itu berada di kabupaten Simalungun.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mencatat, kekerasan terjadi ketika sekitar 150 orang diduga pekerja, buruh harian lepas, dan satuan pengamanan PT TPL menyerang warga Sihaporas yang berjumlah sekitar 30 orang.

Massa dari perusahaan ini membawa kayu, tameng, helm, dan melakukan pemukulan serta pelemparan batu. Akibatnya lebih dari 30 warga luka-luka, dimana 18 di antaranya perempuan dan 15 laki-laki, termasuk kelompok rentan yaitu perempuan, warga lanjut usia dan penyandang disabilitas, serta seorang mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB). Komnas HAM juga menyatakan, telah terjadi perusakan dan pembakaran rumah, pondok, posko, sepeda motor, serta mobil pickup. Barang pribadi seperti telepon genggam dan laptop turut hilang.

Komnas HAM menduga kuat telah terjadi pelanggaran HAM dalam kejadian ini.
AMAN.png
Jhontoni Tarihoran, PLH Ketua AMAN Tano Batak. Credit: Supplied/Courtesy of AMAN

Jhontoni menyebut, konflik ini adalah warisan lama, masyarakat telah berjuang mempertahankan tanahnya sejak tahun 1998, hingga saat ini. Selama periode itu, banyak warga menjadi korban kriminalisasi dan berujung di penjara, kata dia.

PT Toba Pulp Lestari adalah perusahaan produsen bubur kertas, atau pulp. Dulu, perusahaan ini bernama PT Inti Indorayon Utama. Pulp itu diproduksi dengan bahan baku kayu putih atau eukaliptus. Perusahaan ini memiliki lahan konsesi seluas 167 ribu hektar di sekitar kawasan danau Toba.

Hak konsesi yang diberikan pemerintah Orde Baru, atau oleh pemerintahan mantan Presiden Soeharto, ternyata tumpang tindih dengan tanah adat yang dikelola masyarakat. Sejak lebih 200 tahun yang lalu, masyarakat telah mengolah lahan di kawasan tersebut untuk pertanian. Sementara perusahaan baru datang di tahun 1990-an.

Jhontoni menegaskan, Masyarakat Adat di Sihaporas telah mengolah tanah itu selama 11 generasi. Tanaman yang dikelola antara lain kopi, berbagai jenis tanaman hortikultura, tanaman buah durian, serta nangka. Selain itu ada juga tanaman pangan seperti padi, jagung dan ubi.
Jhontoni mencatat, kasus kekerasan di Simalungun itu bukan satu-satunya di Sumatera Utara. Di provinsi tersebut, konflik antara perusahaan pemegang konsesi dengan masyarakat juga pecah di berbagai tempat. Persoalan mendasarnya adalah karena pemerintah memberikan hak kepada perusahaan tertentu untuk mengelola lahan atau hutan, sementara sejak ratusan tahun yang lalu, masyarakat setempat sudah mengolah lahan itu untuk kebutuhan pangan dan berbagai jenis komoditas buah.

Jhontoni menyayangkan, justru di tengah konflik semacam ini, pemerintah tidak hadir dan berperan mencari jalan keluar. Jika pemerintah bertindak tegas, tentu konflik ini sudah selesai sejak lama.

Indonesia sendiri sudah memiliki berbagai undang-undang, yang pada intinya menjamin hak Masyarakat Adat atas tanah-tanah atau hutan adat mereka. Anehnya, produk hukum yang dibuat oleh pemerintah itu justru tidak dilaksanakan oleh pemerintah sendiri.

Jhontoni memberi contoh, di Tapanuli Utara ada kelompok Masyarakat Adat yang sudah menerima surat keputusan pemerintah sebagai pengakuan atas hak mereka, baik dari pemerintah daerah maupun kementerian di pusat. Tetapi surat keputusan resmi pemerintah semacam itu, tidak memiliki makna di lapangan, karena berbagai perusahaan terus mencaplok lahan atau hutan milik Masyarakat Adat.

Mahkamah Konstitusi RI juga telah memutuskan, bahwa hutan adat bukanlah hutan negara. Namun ketetapan semacam itu tidak bermakna.
Jhontoni menyambut baik pernyataan sikap dari Komnas HAM yang menduga kuat ada pelanggaran HAM dalam kasus ini. Tetapi dia mengingatkan, dalam situasi terakhir dimana kekerasan sudah begitu masif, penyataan sikap menjadi kurang bermakna. Sebuah surat rekomendasi tidak akan berarti. Dia menegaskan, dibutuhkan solusi yang tepat untuk menghentikan semua potensi konflik.

Jhontoni dan AMAN menuntut perusahaan-perusahaan yang beroperasi di wilayah milik Masyarakat Adat untuk menghentikan operasi mereka. Ini penting agar masyarakat dapat mengakses sumber kehidupan mereka tanpa ancaman kekerasan.

Selain itu, pemerintah juga harus menerapkan solusi jangka panjang. Di Indonesia terdapat dasar hukum yang memungkinkan pemerintah untuk mengurangi luasan lahan konsesi yang sudah diberikan kepada perusahaan swasta. Karena itu, pemerintah sebenarnya bisa mengurangi luasan wilayah yang diberikan izin pengelolaan lahan atau hutan. Setelah itu, Masyarakat Adat diberi hak untuk mengelola lahan tersebut seperti sebelumnya.

Dengarkan podcast ini selengkapnya dan dengarkan laporan lainnya dari tanah air di sini.


Dengarkan SBS Indonesian setiap hari Senin, Rabu, Jumat, dan Minggu jam 3 sore.
Ikuti kami di Facebook dan Instagram, serta jangan lewatkan podcast kami.

Share
Follow SBS Indonesian

Download our apps
SBS Audio
SBS On Demand

Listen to our podcasts
Independent news and stories connecting you to life in Australia and Indonesian-speaking Australians.
Ease into the English language and Australian culture. We make learning English convenient, fun and practical.
Get the latest with our exclusive in-language podcasts on your favourite podcast apps.

Watch on SBS
SBS Indonesian News

SBS Indonesian News

Watch it onDemand