Menurut Imran Sakwan Hutagaol, seorang warga Aceh Tamiang yang aktif membantu, cuaca belakangan ini cukup mendukung, dengan hujan terakhir turun sekitar tiga hari yang lalu. Namun, kendala utama yang kini dihadapi warga adalah listrik yang mati total selama dua pekan terakhir.
😞 Kondisi Lapangan dan Kendala Logistik
Imran, yang tergerak membuka donasi untuk korban, menyaksikan langsung dampak banjir bandang. Ia mencatat bahwa di berbagai titik, genangan air dan lumpur tebal masih melimpah. Di sisi lain, lumpur yang mulai mengering justru menimbulkan debu tebal di jalanan, menciptakan gangguan baru bagi pengguna jalan.
Pemulihan infrastruktur dan lingkungan berjalan lambat. Video-video di media sosial menunjukkan mobil-mobil dan bangkai ternak (seperti sapi dan kerbau) masih belum dievakuasi hingga akhir pekan ini. Fasilitas umum vital, seperti pasar, masih terendam lumpur dan belum bisa difungsikan.

Imran Sakwan Hutagaol (far left) distributes clean water and food aid to disaster victims in Aceh Tamiang. Credit: Imran Sakwan Hutagaol
- Air bersih dan bahan makanan pokok sangat sulit diperoleh.
- Jika pun ada, harganya sudah tidak terjangkau oleh sebagian besar korban.
Imran menjelaskan bahwa fokus bantuan saat ini masih tertuju pada penyediaan kebutuhan dasar manusia. Evakuasi kendaraan atau penanganan ternak yang mati mungkin harus menunggu, sebab para pemiliknya sendiri masih berjuang mencari tempat pengungsian yang layak bagi diri dan keluarga mereka.
💡 Dampak Ekonomi dan Keterbatasan Transaksi
Bencana banjir kali ini, seingat Imran, dampaknya lebih besar dibandingkan banjir besar pasca-tsunami tahun 2004. Dampak ekonomi sangat terasa:
- Pusat perekonomian masih lumpuh. Kegiatan jual beli hanya bisa dilakukan di titik-titik tertentu.
- Toko-toko belum dapat beroperasi karena terendam lumpur dan ketiadaan listrik.
Matinyanya listrik selama dua minggu juga melumpuhkan sistem pembayaran modern. Transaksi elektronik dan transfer tidak bisa dilakukan, dan ATM tidak berfungsi. Akibatnya, korban tidak memiliki akses ke uang tunai untuk membeli kebutuhan. Imran sendiri harus mengandalkan kepercayaan penjual agar diizinkan menunda pembayaran saat memenuhi kebutuhan para korban.
Situasi diperparah dengan keterbatasan barang. Pedagang terpaksa membatasi pembelian (misalnya beras atau telur) karena mereka juga harus mempertimbangkan pemenuhan kebutuhan di wilayah lain.

Residents clean their houses which are covered in mud due to flooding in Aceh Tamiang. Credit: Imran Sakwan Hutagaol
📢 Prioritas Bantuan dan Akses ke Daerah Terpencil
Berdasarkan pengalamannya, Imran menegaskan bahwa pihak-pihak yang ingin membantu korban di Aceh Tamiang dan sekitarnya sebaiknya membawa sendiri barang-barang kebutuhan pokok dari luar Aceh. Kebutuhan yang paling diprioritaskan adalah pangan atau barang yang langsung bisa dikonsumsi.
Imran juga menyoroti masalah distribusi bantuan:
"Pemberian bantuan lebih terkonsentrasi di titik-titik yang mudah dijangkau. Padahal ada banyak wilayah di pedalaman, yang sulit diakses, yang warganya juga butuh bantuan."Untuk mengatasi masalah akses ini, Imran menerapkan solusi dengan meminta perwakilan warga dari daerah terpencil untuk datang ke posko-posko bantuan.
Saat ini, banyak korban yang rumahnya rusak atau hilang memilih untuk mengungsi ke rumah saudara, meskipun kondisi di sana juga kurang ideal akibat kurangnya air bersih dan matinya listrik. Sementara korban lain terpaksa bertahan di rumah mereka yang rusak dan dipenuhi lumpur karena tidak memiliki opsi pengungsian lain.





