Topik utama
- Karhutla Terjadi di Lokasi Wisata
- Pencemaran Air Akibat Infrastruktur Wisata
- Kurangnya Perhatian Pemerintah terhadap Bencana Ekologis
- Wisata Tak Berkelanjutan Mengancam Masa Depan Pariwisata
Saat ini di sejumlah titik di wilayah itu, sedang terjadi bencana kebakaran hutan dan lahan. Sementara beberapa bulan yang lalu, di lokasi yang sama, juga terjadi bencana banjir.
Di provinsi lain, seperti Riau, Jambi atau Sumatera Selatan, Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) biasanya identik dengan sektor perkebunan. Namun di Sumatera Barat, data menunjukkan sektor pariwisata juga memberikan sumbangan.
Di musim kemarau seperti saat ini, Karhutla semakin marak terjadi.
Wengki Purwanto, Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumatera Barat menjelaskan kepada koresponden Nurhadi Sucahyo, SBS Indonesian sebagai berikut:
“Beberapa waktu yang lalu Walhi Sumbar mencoba melakukan analisa dan kami menemukan dari April hingga Juli 2025 terdapat setidaknya 1.225 hotspot yang menyebar di berbagai kabupaten, seperti Solok, Limapuluhkota, Agam. Jadi titiknya cukup menyebar di beberapa kabupaten termasuk juga di Kota Sawahlunto dan lokasi lain di kabupaten-kota di Sumatera Barat.”

Wengki Purwanto, Direktur Walhi Sumatera Barat. Credit: Wengki Purwanto
Tetapi sisi lain, kata Wengki, sebenarnya industri pariwisata yang belakangan juga cukup berkembang di Sumatera Barat, seperti di kabupaten Limapuluhkota, juga menjadi lokasi-lokasi Karhutla. Kondisi ini dinilai disebabkan karena pengembangan pariwisata yang selama ini cenderung mengabaikan prinsip-prinsip lingkungan hidup.
Sebagai provinsi yang rawan bencana, Sumatera Barat dikenal cukup baik dalam kesiapsiagaan bencana. Namun, pemerintah setempat luput memperhatikan bencana ekologis. Walhi menilai, lebih banyak energi dipusatkan dalam membangun kesiapsiagaan menghadapi ancaman gempa dan tsunami.

Credit: BPBD - Badan Penanggulangan Bencana Daerah
Situasi ini memicu krisis lingkungan yang disebabkan oleh sektor pariwisata. Pencemaran bakteri e coli, menggangu puluhan ribu warga yang mengandalkan sumber air untuk kebutuhan harian, seperti konsumsi dan mandi, karena air menjadi keruh, berbau dan mengandung bakteri.
Wisatawan tidak akan datang kembali ke kawasan-kawasan yang rusak lingkungannya, karena pengembangan wisata itu sendiri.