Lingkungan Rusak, Warga Tolak Ekspansi Tambang Nikel di Halmahera

Nikel Halmahera.jpg

#savebobo menolak operasi tambang nikel di Pulau Obi, Halmahera Selatan, provinsi Maluku Utara. Credit: Supplied/Vecky Kumaniran

Meningkatnya pemakaian mobil listrik di seluruh dunia ternyata membawa konsekuensi yang tidak ringan bagi masyarakat, salah satunya di Pulau Obi, Halmahera Selatan, provinsi Maluku Utara, yang merupakan pulau penghasil nikel dalam jumlah besar.


Sejumlah aktivitas tambang mulai dilakukan pada 2010, dan setidaknya dalam 10 tahun terakhir perusahaan-perusahaan tambang besar telah melakukan operasi tambang di kawasan, dalam skala luas, yang menimbulkan dampak kerusakan lingkungan cukup parah.

Masyarakat pun melakukan penolakan, salah satunya muncul gerakan selamatkan Bobo, atau #savebobo, yang dilakukan oleh warga desa Bobo di Pulau Obi. Upaya ini dilakukan untuk menyelamatkan desa yang tersisa, dari ekspansi tambang ekstraktif yang akan merusak, tidak hanya hutan tetapi juga tanah dan laut mereka.

Vecky Kumaniran, adalah koordinator gerakan #savebobo.
Vecky Kumaniren. foto dok pribadi.jpg
Vecky Kumaniran, koordinator gerakan #savebobo. Credit: Supplied/Vecky Kumaniran
Desa Bobo di kecamatan Obi Selatan, Kabupaten Halmahera Selatan, provinsi Maluku Utara berada tidak jauh dari Kawasi, lokasi tambang nikel yang saat ini telah beroperasi. Investor memperlebar lahan tambangnya dari Kawasi, dan semakin mendekati desa-desa lain di pulau Obi, termasuk Bobo.

Menurut Vecky, pulau Obi memang menjadi incaran investor tambang, dan karena itu ada sejumlah desa yang telah rusak karena tambang, dan ada beberapa desa yang baru akan mulai dimasuki aktivitas penambangan.

Perluasan kawasan tambang ini, mendapat perlawanan dari masyarakat, khususnya dari masyarakat setapak atau masyarakat lokal.

Penolakan ini masuk akal karena pulau Obi tidak terlalu besar. Vecky menggambarkan, pulau ini dapat dilintasi dengan kendaraan dalam satu hari dari satu ujung ke ujung yang lain. Atau dalam gambaran lain, dengan perahu sangat kecil, pulau ini bisa dikelilingi juga dalam waktu satu hari.


Vecky merasa penolakan ini penting, karena dia lahir dan besar di pulau Obi, tepatnya di desa Bobo. Dia ingat betul, bagaimana indahnya desa Kawasi pada sekitar tahun 2000-an, sebelum investor tambang mulai masuk pada 2009. Desa Kawasi memiliki sungai yang bersih dan mengalir di tengah desa tersebut. Kini, sungai itu telah rusak dan masyarakat kesulitan mencari sumber air bersih. Padahal Vecky yakin, setiap warga negara berhak hidup di lingkungan yang sehat. Karena itulah, aktivitas tambang harus ditolak.

Seperti juga Kawasi, desa Bobo juga dialiri oleh dua sungai di pertengahan perkampungan. Vecky khawatir, tambang akan merusak ruang hidup mereka, dan anak-cucu mereka kelak.

Apa yang terjadi di Kawasi, yang desanya sudah hancur karena tambang, disebut Vecky sebagai cermin besar bagi masyarakat di desa Bobo. Kawasi saat ini sudah hancur, dimana ada hujan sedikit saja, maka banjir akan datang. Vecky menyebut, warga Kawasi menderita di atas tanah sendiri dan bertekad hal ini tidak boleh terjadi di Bobo.


Vecky menggambarkan, dulu ada perbukitan hijau di belakang rumah-rumah warga Kawasi. Semenjak tambang datang, bukit tersebut telah dikeruk hingga habis yang membuat hutan dan sungai menjadi rusak. Dampak lanjutannya, laut di sekitar mereka juga rusak. Warga desa-desa di Obi, yang hidup dari bertani dan nelayan, kehilangan sumer mata pencaharian mereka. Air laut di sekitar Obi telah berwarna coklat seperti kopi susu, kata Vecky.

Sayangnya, terjadi perbedaan pendapat di kalangan warga desa-desa di Obi. Ada sebagian kecil yang menerima kehadiran tambang dengan alasan membutuhkan pekerjaan, meski mayoritas tetap menolak karena berpikir jauh ke depan.

Padahal kenyataannya, kata Vecky, jumlah warga asli Obi yang bekerja di sektor tembanga hanya sedikit, karena untuk bisa bekerja di industri ini dibutuhkan kualifikasi tertentu.

Vecky menambahkan, dari desa Kawasi yang sudah rusak alamnya, pelan-pelan aktivitas tambang mulai mengarah ke desa Bobo. Hitungan kasar Vecky, dalam satu hari hutan yang ditebang sepanjang 1-2 kilometer, mengarah ke desa mereka.

Dia menyayangkan, pemerintah desa dan pemerintah daerah tidak cukup membantu warga dalam penolakan tambang ini. Sementara dalam soal perizinan, di Indonesia tambang sepenuhnya berada dalam kewenangan pemerintah pusat, sehingga sulit diatur di daerah.

Warga desa Kawasi yang kehilangan rumahnya, dijanjikan untuk tinggal di perkampungan baru yang dibangun oleh perusahaan tambang. Namun, sampai hari ini data yang ada mencatat, masih ada sekitar 70 kepala keluarga yang belum menerima rumah yang dijanjikan. Vecky tidak mau peristiwa serupa terjadi pada warga desa Bobo.

Dengarkan podcast ini selengkapnya dan dengarkan laporan lainnya dari tanah air di sini.


Dengarkan SBS Indonesian setiap hari Senin, Rabu, Jumat, dan Minggu jam 3 sore.
Ikuti kami di Facebook dan Instagram, serta jangan lewatkan podcast kami.

Share
Follow SBS Indonesian

Download our apps
SBS Audio
SBS On Demand

Listen to our podcasts
Independent news and stories connecting you to life in Australia and Indonesian-speaking Australians.
Ease into the English language and Australian culture. We make learning English convenient, fun and practical.
Get the latest with our exclusive in-language podcasts on your favourite podcast apps.

Watch on SBS
SBS Indonesian News

SBS Indonesian News

Watch it onDemand