Food can bring people to come together, to connect, sharing stories, creating memories, or reminiscing about good memories.Alfan Musthafa -- Queensland Chef of the Year 2025
Inspiration: 'Village boy' turned restaurateur, here's Queensland Chef of the Year Alfan Musthafa's journey

Brisbane's Warisan owner and head chef, Alfan Musthafa, admits to have a special connection with his grandmother's cooking from back when he was little. Credit: Supplied/Alfan Musthafa/Shika Finnemore
Born into a farming family from Cirebon, Alfan Musthafa is now known as a chef who won the title of Queenland Chef of the Year 2025. How did his culinary career develop?
Chef ingat tidak? Ini pertama kali belajar masak memasak atau kuliner ini mulai
-kapan, Chef? -Kalau belajar memasak sebenarnya yang
secara tidak ... nonakademik mungkin belajar dari rumah mulai dari SMP. Mulai
ikut ikut bantu mama masak di rumah segala macam. Tapi akhirnya
setelah lulus SMA memutuskan untuk kuliah di bidang kuliner manajemen tata boga.
-Saya kuliah di STP Nusa Dua, Bali. -Chef memang aslinya Bali atau bagaimana
-tuh? -Saya aslinya orang Cirebon. Jadi itu kalau
misalnya ditanyakan kapan mulai memasak. Tapi kalau misalnya ditanyakan kenapa
memilih menjadi seorang koki itu mungkin ada cerita tersendiri. Lebih ke apa ya apa
namanya punya ikatan memori tersendiri sama kuliner di rumah.
Apakah itu kuliner atau masakan yang dibuat ibu atau bagaimana chef?
Jadi dulu saya ini cucu petani,
anak kampung. Jadi dulu waktu semenjak saya kecil dari umur dua tahun sampai enam
tahun itu tinggal sama
kakek nenek di kampung. Dan setiap hari mereka selalu mengajak saya untuk ke sawah
untuk panen sayur atau hanya sekedar
menyiram tanaman segala macem. Dan setiap pulang dari sawah siang untuk makan siang,
nenek itu selalu masak buat keluarga di rumah buat keluarga besar. Nah, setiap
nenek masak itu ada aroma tersendiri yang nenek ciptakan yang bikin saya merasa
apa namanya
senang, bahagia gitu loh dengan
alasannya adalah dengan masakan nenek dengan aroma yang dia ciptakan di dapur
itu dengan makanan yang jadi itu bisa membawa satu keluarga
duduk dengan damai di ruang makan saling bercerita tentang halhal yang bahagia,
hal-hal yang positif dan menurut saya ini suatu alasan kenapa saya mau jadi koki
bahwa makanan itu bisa membawa orang untuk berkumpul untuk berkoneksi untuk berbagi
cerita untuk membuat memori atau
mengenang memori yang baik untuk kita gitu loh. Jadi alasan saya, saya ingin memasak
untuk meneruskan apa yang sudah nenek lakukan untuk keluarga gitu.
Itu kayak membuat dirimu memilih untuk belajar tata boga jauh jauh ke Bali begitu
-ya. Itu kalau ingat tahun berapa, Chef? -Saya datang ke Bali dua ribu empat cuma
belum ada kesempatan untuk kuliah di Tata Boga. Lalu tahun selanjutnya saya
mengulang mendaftar kuliah. Akhirnya dua ribu
lima saya mulai kuliah di STP Nusa Dua, Bali dengan jurusan manajemen Tata Boga.
Oke, dan pada saat itu di tahun-tahun itu apakah pekerjaan atau profesi atau
berkarir di dunia tata boga ini kalau seorang pria asal Cirebon begitu ya ini
sesuatu yang dianggap oke, normal, baik, membanggakan atau masih sebelah mata chef
-kalau ingat? -Sebenarnya pada tahun itu, sekitar tahun
awal 2000an mungkin sampai 2010an pekerjaan sebagai seorang koki itu masih
dipandang sebelah mata. Yang
mereka dapat bahwa koki itu, pekerjaan di dapur itu hanya pekerjaan untuk seorang
wanita. Jadi mungkin pada saat tahun ini, pada saat 2005, pada saat mulai kuliah di
STPN 2 Bali itu belum banyak peminatnya. Jadi mungkin masih sedikit.
Tapi di keluarga sendiri apakah tidak dianggap 'wah, Alfan mau ngapain' begitu?
Ya, kebetulan saya punya orang tua yang demokrasi ya. Dalam artian mereka
membebaskan anaknya, apa yang anaknya suka, apa yang anaknya ingin lakukan, apa
yang anaknya percayai, dan apa yang anaknya mau menjalani, ya, diserahkan
kepada anaknya. Selama itu di jalan yang benar, tidak negatif. Jadi orang tua
selalu mendukung cita-cita saya. Akhirnya diperbolehkan untuk mengambil kuliah
-jurusan Tata Boga. -Boleh cerita sedikit, Chef, dari Bali
kemudian bisa lompat ke Australia bagaimana ceritanya?
Long story short, jadi aa aku mulai kuliah dua ribu lima setelah itu aa lulus tahun
dua ribu sepuluh aa sambil kuliah dulu sempat magang di beberapa hotel di Bali
kayak Grand Hyatt, Nusa Dua, Nusa Dua Beach Hotel, Ritz Carlton, Hard Rock
Hotel, Hard Rock Hotel di Kuta terus Ashton Kuta sampai akhirnya pada tahun dua
ribu tiga belas saya
membuka restoran dengan salah satu perusahaan dari Jakarta di Pantai Kuta.
Restoran Italy. Terus itu bertahan selama dua tahun sampai awal dua ribu lima belas.
Lalu saya berpikir bahwa saya masih ingin belajar tentang tata boga. Saya masih
ingin belajar tentang kuliner. Saya ingin memperdalam ilmu tentang kuliner bukan
hanya satu jenis makanan tapi juga ingin mempelajari semua jenis makanan kayak
Prancis, Italy, Eropa segala macam. Akhirnya saya berkeinginan untuk bekerja
di luar negeri. Nah
sangat beruntungnya bahwa ada salah satu restoran atau perusahaan di Brisbane yang
sedang mencari Head Chef untuk restorannya dan menawarkan sponsorship
visa. Akhirnya dari pihak perusahaan di Brisbane
menawarkan saya untuk bekerja bersama mereka di sini di salah satu restoran
mereka sebagai Head Chef dan akan mendapatkan, akan mengajukan
-visa sponsorship dari perusahaan. -Dari awal itu berarti langsung
-penawarannya adalah Head Chef begitu? -Betul, betul.
Jadi di Australia langsung gak pakai merangkak-rangkak dari bawah dong, Chef?
Merangkaknya sudah di Bali.
Jadi saya belajar merangkak, belajar berdiri, belajar jalan
di Bali. Setelah itu sudah bisa jalan
dan kebetulan ada jalannya untuk untuk untuk datang ke Australia.Disuruh lari
-langsung. -Disuruh lari langsung, kalau ingat tahun
-berapa itu berarti, Chef? 2015 tadi? -2015 dan bulan Oktober. Iya. Ini kan masih
-bekerja ikut orang jaman itu ya. Betul. -Kemudian terinspirasi untuk yuk buka W
-arisan begitu tuh bagaimana, Chef? -Betul. Jadi tahun 2015 saya datang ke
Australia under sponsorship dan saya sebenarnya gak boleh bekerja di tempat
lain. Jadi harus bekerja dengan perusahaan sponsor saya selama empat tahun pada saat
itu eh, visanya. Nah setelah empat tahun saya boleh mengajukan visa Permanent
Residence dan akhirnya saya mengajukan Permanent Residence setelah visa
sponsorship selesai lalu mendapatkan Permanent Residency, lalu stay di sini
terus Covid mulai. Itu pas 2020 awal Januari, Covid mulai.
Hampir seluruh restoran atau, atau bisnis kuliner yang ada di sini hampir semuanya
tutup. Mereka tidak beroperasi, terus banyak karyawan yang di eh, pecat atau eh,
apa namanya, di PHK.
Terus saya termasuk salah satunya. Jadi
saya kena redudansi atau PHK pengurangan karyawan. Terus akhirnya saya sempat tidak
bekerja selama satu bulan setelah kondisi Covid lebih memba-- eh, membaik. Terus
ada beberapa teman yang, yang kebetulan sempat saya bekerja bareng di restoran
seafood di Manly
menawarkan saya untuk bantu restorannya. Jadi setelah Covid mulai reda, saya mulai
bekerja lagi di restoran, di restoran seafood, di restoran Prancis, terus di
restoran
macam-macam. Setelah itu pada tahun 2021 saya mendapatkan tawaran sebagai chef dan
partner dengan, dengan perusahaan di sini juga untuk membuka restoran di daerah
South Bank. Agustus, Juli terus kita membuka restoran di South Bank tahun 2021
dengan nama Ma Fa Mi, diambil dari cerita background aku sendiri yaitu mama, papa,
and me. Jadi
makanannya sendiri itu focusing ke childhood memory aku atau home cook.
Makanan-makanan yang biasa aku makan yang biasa orang tua dan kakek nenek masak buat
aku. Yang makanan-makanan yang punya cerita tersendiri buat aku. Tapi pada,
pada saat itu pada tahun 2021 karena saya masih berpikir saya masih agak sedikit
skeptikal untuk makanan Indonesia di sini. Karena faktanya di Brisbane sendiri,
restoran Indonesia belum terlalu ramai atau belum banyak gitu. Dan orang-orang di
sini pun masih belum tahu makanan Indonesia itu seperti apa. Nah, jadi pada
tahun 2021 itu saya membuat konsep fifty-fifty. Jadi fifty persen Indonesian
food, another fifty persen dikombine sama makanan Asia lainnya. Nah, tapi pada
faktanya setelah kita buka itu animonya bagus banget. Animonya
luar biasa, di luar ekspektasi kita. Banyak tamu, banyak tamu non Indonesia ya,
Australian. Banyak tamu yang mereka datang ke dapur, "Hai chef, orang
Indonesia ya?" "Iya." "Makanannya enak," dia bilang gitu kan. "Kenapa kok gak semua
Indonesia makanannya?" Oh iya, kira-kira begitu. Maksudnya banyak, banyak komen
dari tamu bahwa mereka suka makanan Indonesia. Sampai akhirnya pada tahun
2004 kemarin setelah tiga tahun di South Bank, akhirnya aku berpikir dari, dari
pengalaman aku buka Ma Fa Mi di South Bank, animo masyarakat tentang masakan
Indonesia itu sendiri kuat dan besar, terus kenapa aku nggak mikir kenapa aku
nggak buka restoran Indonesia seratus persen dengan tujuan memperkenalkan cita
rasa kita, cita rasa Indonesia ditambah kalau aku kan sama makanan Indonesia bisa
tinggal masak sendiri atau makan di restoran gitu. Jadi ya
sekarang sudah satu tahun berjalan, Warisan sudah satu tahun buka dari Oktober
-tahun lalu dan animonya luar biasa. -Oke ini kita membahas bisnis ini dulu
sebentar Chef karena kan kalau menjadi chef, menjadi koki, head chef ini kan beda
cerita dengan seorang yang menjalankan bisnis ya chef.
-Betul. Betul. -Gimana nih cara menyeimbangkan atau
ngaturnya atau
adil begitu dari sisi
yang bikin ide masakan sama dari sisi bisnis begitu?
Kebetulan saya punya tim yang luar biasa juga
terus saya dibantu ada sous chef, dia orang Myanar. Dia sudah bekerja sama
saya udah sekitar empat tahun sekarang. Jadi dia tahu resepnya saya, dia tahu
karakteristik atau gaya memasak saya seperti apa. Dan
kalau saya lagi nggak di dapur, saya percayakan sama dia untuk menjalankan
dapur tanpa harus ada saya-- tanpa harus ada kekhawatiran makanannya salah, gitu.
Terus di depan sendiri saya juga punya tim ada restaurant manager dia orang Itali
juga sudah
dengan kita sudah dari awal kita buka, jadi mereka tahu cara operasional seperti
apa, menjaga standar kualitas seperti apa, jadi gitu.
Lebih susah mana sebenarnya masak aja di dapur atau ngurus dari sisi bisnisnya atau
manajemennya gitu, Chef?
Kalau lebih susah sebenarnya lebih suka manajemen. Lebih susah di manajemen,
karena perbedaannya kalau masak kita mengatur makanan. Kita mengolah makanan
dari bahan mentah sampai bahan jadi sesuai selera kita. Nah, tapi kalau di manajemen
kita mengolah sumber daya manusia, SDM-nya itu sendiri. Dan kadang-kadang
namanya manusia kita beda pendapat, mereka punya ide lain yang seperti itu. Jadi
mungkin lebih menantang di manajemennya.
Dan apakah krumu sendiri lebih banyak orang latar belakang Indonesia atau enggak
-juga, Chef? -Sebenarnya sembilan puluh persen dari staf
-di Warisan itu non-Indonesian. -Nah, ini kan lebih satu hal yang lebih
-menantang lagi nih, Chef. Maksudnya- -Betul [tertawa].
Secara-- mereka mungkin tahu masakannya, tapi kan bukan yang tahu natively begitu,
-ya. Nah, ini gimana ceritanya, Chef? -Betul. Jadi sebelum, eh, sebelum kita
seleksi staf untuk bekerja untuk kita pilih sebagai salah satu staf di Warisan,
kita melakukan training minimal itu dua minggu. Jadi mereka harus tahu makanan ini
namanya apa, penyebutannya seperti apa, bahan-bahannya apa, dan karakteristik
-rasanya seperti apa. -Oke, dan dirasa kurang lebih satu tahun
berjalan ini akan menjadi project yang panjang umur ke depannya, begitu ya, Chef?
Amin, amin. Jadi sebenarnya status
co-founder itu saya pegang itu sebelum bulan September. Jadi sekarang, jadi
sekarang itu business partner saya
mengeluarkan diri sendiri. Jadi saya ambil seratus persen Warisan.
-Well, selamat Chef, luar biasa! [tertawa] -Thank you. Terima kasih.
Chef Alfie, terima kasih waktunya bersama SBS Indonesian, Chef.
Sama-sama, Tia. Terima kasih banyak.


