Community: Green or blue passport? Which nationality does Indonesian diaspora choose and why

Copy of ALC Header Cutout.png

Credit: Pixabay/SBS Indonesian

Having not lived in their homeland for decades, Indonesian diaspora shares the reasons behind their decision to change—or keep—their citizenship status.


Aside from the topic around Global Citizenship of Indonesia—which is said to grant permanent residency to foreign nationals with "strong ties" to Indonesia—the Indonesian diaspora who have lived abroad for decades have their own reasons for choosing their citizenship status.

Didiet Radityawan moved to Australia in 2010. Initially living on a permanent resident visa, he became an Australian citizen in 2017.

"The way I think, my point of view, it has become very different," he told SBS Indonesian when asked why he didn't want to retain his Indonesian citizenship.
Didiet radityawan - Suryani Bambang
Indonesian diaspora Didiet Radityawan (L) and Suryani Hardjowijono Bambang share their reasons in deciding their chosen nationality. Credit: Supplied/Didiet Radityawan/Suryani Hardjowijono
Meanwhile, for Suryani Hardjowijono, who has lived in Australia for more than four decades, Indonesia will always be her endearment.

"I'm old-fashioned. I still love Indonesia," she answered when asked why she still holds her Indonesian passport. She said that she uses her Indonesian passport to travel to various countries around the world without any problems.

The mother of four—all Australian citizens—also mentioned family and retirement factors as considerations in her decision to retain her green passport.

What factors influence the Indonesian diaspora's decision to choose their citizenship status? Listen to the full podcast.
Listen to SBS Indonesian on Mondays, Wednesdays, Fridays and Sundays at 3pm.
Follow us on Facebook and Instagram, and don't miss our podcasts.

Pilih paspor hijau atau biru? Pilih kewarganegaraan Indonesia atau

beralih ke Australia? Itu biasanya pertanyaan yang ada di benak diaspora

Indonesia yang tinggal di Australia. Pada bulan November lalu, pendengar, ada

pemberitaan terkait dengan Global Citizenship of Indonesia yang memungkinkan

diaspora untuk tinggal di Indonesia tanpa batas waktu. SBS Indonesian

juga berbincang dengan perwakilan dari Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan

yang menyebutkan bahwa pada saat ini GCI atau Global Citizenship of Indonesia masih

dalam tahap proses dan akan ada perkembangannya di bulan Januari. Tapi

terlepas dari GCI pendengar, diaspora Indonesia yang sudah puluhan tahun tinggal

di luar negeri, memiliki alasan tersendiri dalam memilih status

kewarganegaraan mereka.

Saya berbincang dengan beberapa di antaranya. Ada Didiet Radityawan yang

pindah ke Australia sejak tahun 2010. Tujuh tahun tinggal di Australia, ia

kemudian menjadi warga negara Australia. Ada juga Ibu Suryani Hardjowijono, yang

meski telah tinggal di Australia lebih dari empat dekade, masih juga memegang

paspor Indonesia. Bagaimana cerita mereka? Berikut ini selengkapnya.

Saya sudah ninggalin Indonesia tuh dari 2004. Jadi, semenjak 2004 itu saya udah

mulai keliling. Saya sempat di Dubai, saya sempat di Bermuda, terus balik ke Middle

East lagi, Abu Dhabi.

Dari Abu Dhabi terus ditawarin untuk kerja, dapat kerjaan di Australia yang

langsung bisa dapat PR. Ya udah, jadi eh mungkin saya contoh yang agak berbeda

dibanding kebanyakan warga Indonesia di sini. Yang datang ke Australia untuk

sekolah dulu, terus merasa pengen tinggal. Kalau saya sih, saya udah datang ke

Australia sebagai migrant. Udah terlalu lama ninggalin Indonesia dan

saya juga mikirnya udah nggak bakal balik lagi ke Indonesia anyway. Yang jelas saya

nggak punya properti sama sekali di Indonesia. Jadi ya udah, paling keluarga.

Dan keluarga kan visit bisa gak begitu jauh kan. Makanya saya milih Australia

karena gak begitu jauh dari Indonesia daripada dulu. Saya sebelumnya di Bermuda

harus terbang dua puluh dua jam, ke Australia ke sini kan paling cuma tujuh

setengah jam. Dan ya memang tadinya ada pertimbangan ini itu, cuma

dan juga ada pro kontra jugalah dari keluarga sendiri. Cuma, in the end of the

day, saya udah

memang nggak bakal pulang ke Indonesia sih. Terakhir kemarin pulang itu kayaknya

Jakarta dan Pulau Jawa sekitarnya tambah panas jadi benar-benar ini ya,

-ya udah beda sih. -Apakah melihat dari paspornya, kemudahan

paspor Australia untuk digunakan misalnya bepergian ke luar negeri begitu, atau

lebih melihat dari keuntungan menjadi warga negara Australia atau gimana pada

-saat memutuskan? -Ya, mungkin awalnya gitu ya, will be

easier for travelling gitu ya. Cuma, so far sih masih belum, belum banyak

travelling juga. Tapi apa ya? Kayaknya kesini sini terus udah dapet

manfaat lebih dari as a citizen, kayak tahun lalu aku bisa ngambil

sekolah untuk Certificate for Training and Assessment. Jadi ini kayak

course gitu satu tahun untuk bis-- aku bisa jadi Certified Trainer & Assessor

untuk di

bidang vokasi ya, bidangku sendiri, which is bakery. Dan itu, itu free. Itu

benar-benar ditanggung sama state government. As a citizen, it's free. Kalau

enggak aku harus keluar duit itu paling enggak lima ribu, tujuh ribu.

Sebelum memang mengambil pendidikannya akhirnya, apakah hal-hal ini terpikir

memang jadi salah satu juga yang mendorong keputusanmu, Mas? Atau not really?

Not really.

Kan aku, aku udah merasa aku nggak bakal, nggak bakal pulang lagi ke Indonesia. Dari

sebelum 2017 itu aku udah mantep aku nggak bakal pulang ke Indonesia. Karena

udah susah juga kayak dan aku baru ngerasain recently kemarin pas pulang. I

think the way I think my point of view itu sudah sangat beda dengan orang. Mungkin

banyak yang offended dengan statement ini ya, tapi ya aku yang ngalamin sendiri

gitu. Begitu aku pulang banyak hal lain, wah ini nggak bisa kayak gini. A lot of

-things. -Mas Didit lahir di Indonesia?

Iya, lahir di Indonesia. Aku kalau di sini tanya orang, kan pasti orang di sini kan

bakal nanya, kalau yang sopan pertanyaan kan di sini bukan yang where are you from?

Tapi yang what's your background? Ya kan? Karena Australia itu kan is a melting pot

of like people from around the world. Dan aku bakal, aku bakal masih bangga bilang

oh my background is Indonesian. Aku dari Indonesia.

So that I can, you know, dalam soal makanan lah paling enggak. Kan aku bisa,

aku kasih tahu or sharing my Indonesian food to my, you know, other Australian

friends.

Dan ya kalau soal itu sih aku, aku masih, aku masih bakal bilang my background is

Indonesian. Dan paspor itu menurut aku ya udah apa sih? Cuma, cuma surat, cuma kayak

KTP aja. Kenapa dipermasalahkan?

Aku udah punya anak sekarang, ya udah. I think it will be best for him untuk

tinggal di sini dengan pendidikan yang di sini.

Oke, dan istri juga tidak keberatan ketika pindah jadi Australian?

Oh, sebenarnya aku waktu itu sih nunggu iya gitu. Dia yang masih agak bimbang

tadinya. Kalau, kalau nurutin aku mungkin [tertawa] Dari 2015 aku udah-

-Sudah pindah ya? -Iya, karena kan

visaku itu karena aku PR dari awal jadi cuma butuh empat tahun. Setelah empat

-tahun aku bisa apply citizen. -Tapi kemudian pada akhirnya istri juga ya

-okelah gitu? -Iya akhirnya, akhirnya kita bareng. Kita,

kita bareng ambil citizenship test dan sampai pas pelantikannya pun

-bareng. -[musik ceria]

I don't know, I still ee like comfortable to have to two country [tertawa]. Gak tahu

ya, aku old fashion. Aku still, still cinta Indonesia.

Dan kecintaannya dengan Indonesia ini juga lewat paspornya tetap hijau begitu, Bu?

Ya, of course.

Kadang-kadang orang alasannya karena paspor hijau itu lebih susah atau harus

mengurus visa misalnya, kalau misalnya mau jalan-jalan ke luar negeri. Kalau pakai-

Enggak tahu, ya. Kalau saya kayaknya sama aja, ehhh, ke Egypt, ke Israel, ke

-Jordan. -Enggak ada masalah dengan menggunakan

-paspor Indonesia Ibu? -No.

I'm willing to have two country, easy way. Ya siapa tau kan orang kalau udah tua

berubah, pengen bolak balik sana sini easy gitu. Kalau aku masih paspor Indonesia,

aku kan tinggal di Indonesia lama boleh, terus tanpa bayar visa.

Kan aku di sana ada family, di sini ada family. Kalau udah pensiun itu aku

bis-bisa tinggal di sana tiga bulan, enam bulan, terus di sini nungguin anak, cucu.

Di sana bisa ketemu keluarga, rileks gitu. Pemikiran saya old fashion, aku masih

cinta Indonesia.

END OF TRANSCRIPT

Share
Follow SBS Indonesian

Download our apps
SBS Audio
SBS On Demand

Listen to our podcasts
Independent news and stories connecting you to life in Australia and Indonesian-speaking Australians.
Ease into the English language and Australian culture. We make learning English convenient, fun and practical.
Get the latest with our exclusive in-language podcasts on your favourite podcast apps.

Watch on SBS
SBS Indonesian News

SBS Indonesian News

Watch it onDemand
Community: Green or blue passport? Which nationality does Indonesian diaspora choose and why | SBS Indonesian