Pemerintah Indonesia di era Presiden Joko Widodo meresmikan program perhutanan sosial. Ini adalah sistem pengelolaan hutan lestari yang melibatkan masyarakat sebagai pelaku utama di dalam dan sekitar hutan negara atau hutan adat, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, kelestarian lingkungan, dan sosial budaya.
Program ini memberikan akses kelola hutan kepada masyarakat untuk memanfaatkan hasil hutan secara ramah lingkungan, seperti hasil hutan non-kayu, ekowisata, atau pengolahan hasil hutan lainnya.
Yayasan Panorama Alam Lestasi mendampingi masyarakat di kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, dalam program ini, dan Yopy Hari adalah direktur di lembaga ini.
Dia mengatakan, ini adalah program yang mendorong masyarakat memiliki akses di dalam kawasan hutan. Yayasan Panorama Alam Lestari (YPAL) berkonsentrasi dalam program ini, karena menurut Yopy, ini adalah salah satu bentuk legitimasi yang bisa mendorong masyarakat memiliki akses dalam tata kelola hutan, termasuk salah satu bentuk untuk mengurangi tingkat konflik atas penguasaan lahan.
Setidaknya 71 persen wilayah Poso adalah kawasan hutan. Termasuk di dalamnya, taman nasional yang sangat terkenal seperti Taman Nasional Lore Lindu. Sekitar 80 persen masyarakat ada di dalam wilayah hutan itu, khususnya masyarakat di pedesaan. Secara praktis, kata Yopy, masyarakat tinggal di dalam kawasan hutan dan wilayah kawasan konservasi. Status itu menjadi penghambat bagi masyarakat untuk turut mengelola hutan di sektor pertanian dan perkebunan. Padahal, di Poso hampir 80 persen warga adalah petani.
Menurut data Kementerian Kehutanan, luas perhutanan sosial saat ini telah mencapai lebih dari 8 juta hektar dengan lebih dari 11 ribu Surat Keputusan telah dibuat. Jumlah warga penerima SK pemerintah ada lebih dari 1,4 juta dan nilai ekonomi yang diciptakan dari program ini mencapai lebih dari Rp1 triliun.
Pemerintah sendiri juga menetapkan berbagai aturan di sektor kehutanan yang melarang aktivitas di dalamnya.
Karena itulah menurut Yopy, skema perhutanan sosial sebenarnya adalah jalan tengah. Di satu sisi, masyarakat mampu menjaga kawasan hutan di sekitar mereka, dan pada saat bersamaan berksempatan mengelola potensi potensi sumber daya alam hasil hutan bukan kayu. Termasuk di dalamnya adalah rotan, damar dan hasil hutan lainnya.
Yopy menegaskan, pengolahan hasil hutan bukan kayu dalam bingkai perhutanan sosial ini meningkatkan kemampuan sumberdaya lokal, sekaligus bisa menjadi peluang bisnis. Yang dikembangkan adalah sumber penghidupan alternatif bagi masyarakat yang ada di wilayah kawasan hutan.
Hanya saja, tidak semudah yang dibayangkan untuk menerapkan program ini, bahkan setelah beberapa tahun. Secara prinsip, sebenarnya masyarakat adat sudah tinggal di kawasan hutan, bahkan sebelum Indonesia terbentuk. Mereka sudah memanfaatkan hutan jauh sebelum peraturan pemerintah keluar.
Yopy mengakui ini, karena pada kenyataannya masyarakat menganggap bahwa wilayah itu telah mereka kelola sejak lama. Tiba-tiba, kata Yopy lagi, masyarakat justru berbelenggu oleh batas-batas kawasan di dekat perkampungan mereka, dan tahu-tahu wilayah-wilayah itu sudah masuk dalam wilayah konservasi.
Namun, YPAL selalu mengingatkan bahwa dalam situasi saat ini, konsep perhutanan sosial adalah skema terbaik yang bisa diterima masyarakat. Sejarah panjang pengelolaan hutan oleh masyarakat adat, harus diselaraskan dengan aturan baru dari pemerintah. Masyarakat pun harus mengalah dan memamahi, bahwa setidaknya dengan aturan hukum baru, mereka berhak mengelola hutan dalam jangka 35 tahun ke depan secara sah, tanpa melanggar hukum.
Walaupun dalam konsep perubahan sosial, kata Yopy, mereka tetap mendorong masyarakat menerapkan kaidah-kaidah konservasi dalam tatanan sosial. Dua hal yang akan dikembangkan di sana terkait dengan wilayah, adalah satu sebagai wilayah perlindungan dan kedua sebagai wilayah-wilayah pemanfaatan.
Kabupaten Poso adalah satu-satunya kabupaten di Sulawesi Tengah yang sudah memiliki kelompok kerja perhutanan sosial.
Di Pokja inilah, pemeritah daerah dan masyarakat menyelaraskan tata kelola, karena kewenangan pengelolaan hutan ada di pemerintah pusat. Kita bisa integrasikan kebijakan baik itu kewenangan desa, maupun kebijakan-kebijakan keuangan daerah, kata Yopy.
Program perhutanan sosial di sisi lain, kata Yopy, juga mampu melindungi hutan dari ekspansi industri ekstraktif, seperti tambang dan perkebunan skala besar. Salah satu sebabnya adalah karena pemerintah tidak boleh memberikan izin secara tumpang tindih. Kawasan yang sudah menjadi wilayah perhutanan sosial, tidak dapat diberikan hak kelola kepada perusahaan swasta untuk dimanfaatkan di bidang lain.
Tantangannya saat ini adalah mendorong masyarakat untuk menerapkan secara tegas konsep konervasi dalam perhutanan sosial. Hal ini terwujud dengan kesepakatan untuk tidak melakukan perusakan hutan dalam pemanfaatan wilayah itu.








